30 Jul

Blusukan Ilun dan Majelis Rasulullah

Chairun Nissa, ya, mungkin nama filmmaker satu ini mulai akrab di telinga kita. Sukses dengan Purnama di Pesisir dan film-film pendeknya yang terdahulu, Ilun—begitu ia karib disapa—, kembali dengan film bertemakan sosial lainnya. Kali ini Kineria bakal fokus membahas jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu dan film dokumenternya yang ia beri judul The Followers. Sebuah film yang mengetengahkan loyalitas tanpa batas para pengikut sebuah majelis pengajian yang berbasis di bilangan Jakarta Selatan. Topik yang terbilang cukup menarik untuk difilmkan di kala makin menjamurnya majelis-majelis pengajian—khususnya di Jabodetabek—yang memang dibanjiri massa namun tak jarang pula memicu kontroversi. Kumpulan orang—selain suporter bola di stadion—yang kerap “dimanfaatkan” politisi saat musim pilkada tiba, memusingkan para pengguna jalan yang melewatinya, namun menjadi berkah tersendiri bagi penggelar lapak-lapak dadakan di sekitarnya.

Film produksi 2013 ini bercerita tentang pengikut Majelis Rasulullah yang pengajiannya rutin digelar tiap Senin Malam di salah satu Masjid kawasan Pancoran. “Saat itu saya tinggal berdekatan dengan Masjid yang seringkali dijadikan tempat berkumpulnya Majelis Rasulullah. Nah, dengan kumpulan umat yang setiap pekan berkumpul dan jumlahnya bisa mencapai 10 ribu orang lah yang membuat saya tertarik memfilmkan
nya,” Ilun menjelaskan via surel.

Ketertarikan Ilun memfilmkan realitas sosial di atas, bukan semata-mata persoalan kedekatan geografis dan matematika massa majelis tersebut, namun juga bagaimana mereka sebagai umat berkumpul, melakukan ibadah, dan bahkan dampak nyatanya secara ekonomis. Ya, dengan kemunculan penjual-penjual kaki lima dadakan nan segmented—menjual pernak-pernik bernuansa timur tengah—. Hingga, satu pertanyaan pamungkas yang masih menggelayuti Ilun terlontar, “Apa yang sebenarnya mereka cari? Apakah kegiatan yang mereka lakukan setiap Senin Malam tersebut menjawab semua pencarian mereka?”, lanjut Ilun, menutup jawabannya.

Saat kami tanya apakah ia merasa terganggu atau memang tertarik dengan rutinitas majelis yang melibatkan banyak orang tersebut, Ilun pun membeberkannya. “Awalnya terganggu, karena setiap Senin pilihannya: harus pulang lebih awal atau pulang ke rumah di atas jam 11 malam, menunggu jamaah itu pulang. Tapi terganggunya itu membuat penasaran, jadi ingin tahu seperti apa kegiatan di dalamnya,” katanya lagi.

Ada cerita menarik di balik proses syuting The Followers. Pembawaan maskulin Ilun yang ditunjang dengan rambut cepaknya, ternyata menjadi keuntungan terselubung dalam pembuatan film ini. “Banyak hal menarik. Saat shooting, penampilan saya kan tomboy dengan rambut cepak, jadi banyak yang mengira saya laki-laki. Alhasil, saya bebas masuk ke kerumunan jamaah laki-laki yang super banyak, terus ngobrol juga dengan beberapa pedagang. Mencoba melihat dari dekat agar tidak menilai dari satu sisi saja akan jamaah ini,” tutur Ilun.

Tak lupa, Ilun juga menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan dalam filmnya kali ini, “Saya ingin berbagi pengalaman saja, karena bagaimanapun juga masing-masing punya caranya untuk merayakan ibadah yang mereka yakini dan film ini memberikan situasi apa adanya.” Pesan tersirat yang memang sangat relevan dengan masa-masa paceklik kenyamanan beribadah yang tengah melanda bangsa ini. Ya, kenyamanan beribadah yang juga nyamankan lingkungan sekitar tentunya.

Pemilihan topik dalam pembuatan sebuah film dari Ilun dan sutradara-sutradara muda lainnya memang terasa segar. Tidak pop-pop amat namun tetap bisa dinikmati. Sayang juga jika bakat-bakat mereka tidak terwadahi dengan semestinya oleh pemerintah. Contoh Ilun, film-film karyanya eksis aja tuh di kancah perfilman nasional dan global. Itu baru Ilun, belum lagi ribuan filmmaker berbakat kita lainnya. Huh! Andai saja BEKRAF lebih jeli.

Foto: Yerry/EngageMedia