26 Feb

Profil Sutradara: Andra Fembriarto

Ya, Andra Fembriarto, mungkin Anda pernah menikmati karyanya atau minimal mendengar namanya dalam gelaran festival-festival film yang rutin digelar di Indonesia pun di negeri orang. Untuk Kineria, lelaki 28 tahun jebolan University of Technology, Sydney ini rela bercerita panjang lebar menyoal prosesnya menjadi filmmaker, syuting di kuburan tahanan politik, hingga project film terbarunya. Simak!

Duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Andra kecil memang sudah hobi menggambar dan mengkreasi cerita berdasar film kartun yang ditontonnya. Hingga, penggila Jim Carrey ini, menemukan apa yang ia sebut dengan “kanvas untuk impian yang lebih besar” saat sang ayah mengajaknya menonton Stars Wars: A New Hope (Special Edition) (1997).

Beranjak remaja, Andra makin menggemari seni gambar bergerak. Bersama adiknya, ia kerap menghabiskan waktu untuk menggarap video dalam bentuk stop motion dan klip musik. Menemukan teman dengan minat yang sama baru ia temukan saat mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA), saat itu Andra cs. produktif membuat video-video dengan tema jenaka. Andra mantap terlibat di belakang layar selepas ia menyelesaikan studi S1 Komunikasi-nya di Australia.Andra Fembriarto

Kini, karya film pendek Andra pun telah melanglang buana di banyak ajang penghargaan. Tidak hanya yang terlaksana di dalam negeri, Indonesia Film Festival di Melbourne pun sempat menayangkan film karyanya yang notabene ditujukan untuk ujian akhir yaitu Jakarta 2012 dan Two Billion Desirables. FYI, Film Andra yang berjudul Sinema Purnama sukses menyabet penghargaan di Festival Film Solo 2013 dan Festival Film Indie Yogyakarta. Karya-karyanya yang lain seperti Mereka sudah sampai di Jawa, Yomi, Waktu Itu, Gamelan Noise, Di Bawah Langit yang Sama, dan Lalijiwo juga mentas di Europe on Screen, South to South Festival, Festival Film Solo, Malang Film Festival, Boemboe Forum, hingga Indonesia Film Festival di Vancouver, Kanada.

Film pendek terakhirnya, Pohon Penghujan, adalah yang paling sibuk berkeliling festival. Mulai dari menjadi film pembuka di Festival Film Solo 2013 hingga masuk nominasi dalam Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2013 dan Festival Film Indonesia (FFI) 2013. Tak berhenti di situ, Pohon Penghujan pun mulai menghujani Amerika Serikat. Tahun ini, film tersebut rencananya bakal diputar di festival film kanak-kanak di Seattle, San Fransisco, dan New York.

Menarik mencermati pemilihan tema dari film-film karya Andra Fembriarto. Dalam Di Bawah Langit yang Sama, Andra mencoba mengawinkan sejarah dua negara di mana ia “dibentuk”, Indonesia dan Australia. Belum ada rasanya memang sebuah karya seni yang spesifik menyoroti asal muasal terjalinnya persahabatan kedua negara tersebut.

“Ide Di Bawah Langit yang Sama tercetus saat saya berbincang-bincang dengan Max Lane (penerjemah novel-novel Pramoedya Ananta Toer), beliau adalah dosen Sydney University dan dia sangat dekat dengan perkembangan sejarah modern Indonesia,” kata Andra saat kami wawancara via surat elektronik.

Andra mencoba memvisualkan sebuah fakta sejarah di mana saat perang dunia kedua, tahanan-tahanan politik Indonesia di Digoel dipindahkan sementara ke Australia. Hal yang malah memicu simpati Bangsa Australia sehingga berbalik mendukung perjuangan Bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari tangan Belanda.

“Jadi meskipun film tersebut menceritakan sejarah, namun dari kacamata anak-anak jaman sekarang yang ‘baru menemukan sejarah tersebut’. Saya ingin membawa penonton dalam sebuah perjalanan ‘discovery’ yang saya rasakan sendiri saat melakukan riset tentang sejarah itu,” imbuh lelaki berkacamata ini.

Untuk lebih merepresentasikan isi film, Andra menggunakan jasa kru dan pemain yang memang berasal dari Australia, Belanda, dan Indonesia. Sponsor pribadi pun datang, Di Bawah Langit yang Sama sukses meyakinkan seorang donatur untuk tidak segan merogoh koceknya sedalam 5000 dollar Australia atau setara 51 juta rupiah.

“Pengalaman paling menarik di produksi Di Bawah Langit yang Sama adalah saat kita mengunjungi kuburan tahanan politik Indonesia di Cowra, New South Wales karena kita seakan menemukan situs terlupakan seperti film Indiana Jones,” lanjut Andra.

Lain Di Bawah Langit yang Sama lain pula Lalijiwo, film yang mengangkat tema cukup spooky ini bercerita tentang ‘lalijiwo’ atau dalam bahasa Indonesia berarti lupa diri.

“Kita sebenarnya pernah mendengar pendaki-pendaki tiba-tiba hilang dan kembali lagi lima tahun kemudian padahal pendaki tersebut hanya merasa hilang dua minggu saja. Atau ada pendaki yang tanpa sengaja masuk ke sebuah desa di atas gunung tapi tidak ada siapa-siapa di sana dan ternyata desa itu bukan desa di alam nyata manusia,” kata Andra lagi.

Dalam karyanya kali ini Andra mencoba menggambarkan “keanehan” yang mungkin kita alami jika tersesat dalam alam seperti itu. Bahkan, ketika Andra dkk. sedang melakukan proses syuting untuk film tersebut, banyak keganjilan yang terjadi. Mulai dari aktornya datang telat ke lokasi karena helm motornya hilang, sepeda untuk kepeluan syuting yang tiba-tiba tidak bisa digowes, hingga kamera yang menjadi mudah overheat.

“Mungkin kita benar-benar masuk ke alam ‘lalijiwo’,” candanya.

Dalam kesempatan kali ini pula Andra Fembriarto dengan senang hati membeberkan tiga next project-nya, novel ilustrasi berjudul Tapak Air, film pendek berjudul Cayasukma, dan sebuah film fantasi. Tapak Air menceritakan perjuangan suku Napak yang dapat berjalan di atas air dan Cayasukma bakal bercerita tentang makhluk lehak yang menculik seorang penari cahaya untuk suatu tujuan yang misterius.

Nah, Cayasukma bakal digunakannya meyakinkan produser seantero nusantara untuk bekerja sama dalam pembuatan film fantasi yang ia beri judul Marangka, yang mengisahkan seorang gadis cilik yang bermaksud menyelamatkan kakaknya yang dimakan lehak, namun lehak tersebut perlahan malah menjadi teman terbaik yang pernah dimilikinya.

Baiklah…kita doakan saja semoga bukan K.K. Dheeraj atau Shanker R.S. yang berminat.

Sukses Andra Fembriarto!