23 Dec

Dedikasi Seorang Ibu dan Pekerja Teater Modern

Beruntung sekali ia. Ketika baru menginjak usianya yang ke-11 sudah mendapat bimbingan akting dari orang-orang yang memang layak disebut seniman. Bandingkan dengan suguhan yang ditawarkan media untuk umur seusianya saat ini. Ya, pastinya bukan yang hanya bermodalkan dempul dengan akting ala kadarnya yang menjadi role model-nya. Dewa-dewa Teater Populer macam George Kamarullah, Henky Solaiman, hingga Nano Riantiarno menjadi nama-nama yang disebut dalam bahasan mengenai perkenalannya dengan dunia lakon. Dokumenter berjudul Persona arahan George Arif ini yang bakal mengupas dalam-dalam kehidupan sosok ‘ia’ yang terus disebut dari awal alinea. Ia adalah Rita Matu Mona.

Fragmen pembuka menggambarkan sosok Rita yang memang menggeluti dunia sandiwara atas desakan passion. Sedikit pengaruh tidak langsung dari sang ayah yang berprofesi sebagai praktisi media—tepatnya Pimpinan Redaksi sebuah media cetak nasional terkemuka—, Rita kecil langsung menemukan keasyikan berteater. Kini di usianya yang menginjak 53 tahun, dedikasinya untuk Indonesia via dunia teater semakin tak terbendung. Mulai dari membantu advokasi kasus-kasus trafficking, sosialisasi bahasa HIV/AIDS, hingga kasus-kasus perburuhan.

Meraih banyak penghargaan dan sempat terlibat dalam Teater Remaja yang dipimpin seniman Kasim Ahmad, pada 1980 akhirnya Rita memutuskan untuk bergabung bersama Teater Koma—yang saat itu sudah dihuni oleh nama-nama beken dunia akting Indonesia—, siapa yang tak tahu Jajang C. Noer, Titi Qadarsih, Ratna Riantiarno, Rima Melati, sampai Ratna Sarumpaet? Masih dalam prolog film, Rita pun mulai menceritakan berbagai pengalaman menariknya semasa aktif bersama kelompok seni teater yang berdiri pada 1 Maret 1977 tersebut.

Kehangatan bersama keluarga besar di tengah suasana Idul Fitri terekam jelas di rumah mungil miliknya di kawasan Jakarta Timur. Di samping pelakon ulung, segmen tersebut pun menegaskan bahwa Rita Matu Mona adalah seorang family woman. Ia pun tidak memaksakan anak-anaknya untuk juga terjun dalam dunia sandiwara. Sosok ibu yang sangat diidamkan.

Jejak rekam Rita Matu Mona dalam dunia per-teater-an, ditunjang dengan dengan kemampuannya menulis naskah. Tidak heran memang karena beliau merupakan putri dari Matu Mona, seorang sastrawan nasional legendaris yang juga dikenal melalui karya-karyanya dalam bentuk prosa. Film ini juga menceriterakan perjalanan Rita saat dikontrak selama enam tahun oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat di Amerika Serikat bernama “Save The Children”. Menariknya, ia ditugasi melakukan terapi teater untuk para korban trafficking. Seperti apa terapi teater itu? Berhasilkah misi tersebut diemban Rita?

Cerita Rita Matu Mona yang apa adanya benar-benar memberi gambaran kepada kita seperti apa yang disebut berkarir dan menghidupi profesi. Bagaimana ia menyerempet generasi sekarang yang tidak menghargai proses dan menjadikan mereka generasi yang rapuh. Perbedaan masa sekarang dengan apa yang dirinya rasakan ketika mulai berteater.

Satu kutipan menarik Rita Matu Mona dalam film ini ialah bagaimana ia sebagai dosen—yang tidak peduli dibayar berapa—namun penting baginya sebagai pengarah untuk mengarahkan para anak didiknya tetap peka terhadap sekitar demi memunjang peran mereka dalam berteater. Karena teater yang selalu mengangkat realitas zaman, hal tersebut ia nilai sebagai penunjang dalam berlakon.

Dalam dokumenter ini pula kita mendapat suguhan akting dari sang narasumber dalam berbagai peran. Beberapa opera yang pernah melakonkan Rita menjadi selingan menarik dalam dokumenter berdurasi 105 menit ini. Merasa berdosa rasanya jika menganggap George Arif—sutradara film ini—gagal membuka mata kita jika Rita Matu Mona adalah (salah satu) unsung hero-nya dunia teater Indonesia.