11 Sep

Getir Fitri di Malam Idul Fitri

Tetap “ngejablay” dalam atmosfer Idul Fitri memang menjadi fenomena yang terlihat paradoks. Terlebih jika sosok tersebut pun memiliki nama Fitri—yang secara harfiah banyak orang mengartikannya ‘suci’—. Irisan antara Idul Fitri, Fitri, dan dunia esek-esek memang menjadi gagasan utama dalam film yang juga diberi judul Fitri ini. Film karya Sidi Saleh yang duluan digarap sebelum Maryam (2014) coba membawa kisah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang terpaksa melakukan rutinitasnya di saat teman-teman seprofesinya menikmati hasil keringat dan asyik berkumpul bersama keluarga di kampung halaman mereka masing-masing. Fitri dalam Fitri harus rela tak pulang kampung sembari mengarungi kegetiran ‘malam takbiran’-nya.

Negosiasi alot berakhir buntu yang dilakukan sang mucikari kepada Fitri untuk menunda kepulangannya hingga ba’da lebaran, tidak diindahkan dara bertubuh sintal itu. Sadar “ATM berjalannya” pulang kampung, ditambah hutang yang terus meggunung, serta desakan penagih yang mulai kehilangan kesabaran dan kerap menggeruduk rumahnya, pikiran sempit nan culas timbul begitu saja di benak sang mucikari. Fitri yang selangkah lagi akan menaiki bus yang ditumpanginya untuk menuju kampung halaman “dikerjai”. Apa yang dilakukan orang yang seharusnya menjadi pemelihara terhadap aset berharganya itu? Apakah Fitri dapat bertahan dari kelicikan orang yang biasa ia panggil dengan sebutan ‘bunda’ tersebut?

Peran sebagai mucikari dilakoni ‘bunda’ dengan sangat cakap. Mulai dari ‘F’ yang menelingsut menjadi ‘P’, sehingga tiap kali ia memanggil Fitri yang keluar adalah Pitri. Salah satu hal yang memang menjadi sesuai dengan realita di masyarakat, khususnya mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Gimik centil dan mimik nyinyir-nya pun sangat menggambarkan kelaziman seorang mucikari dalam perannya di dunia malam.

Film ini pula menjadi semacam pledoi untuk para perempuan yang terpaksa menjalani profesinya sebagai PSK akibat tuntutan ekonomi. Fitri sangat dimanusiakan dalam Fitri. Fitri dikisahkan sebagai perempuan yang lembut, terbukti saat ia menolak dengan halus permohonan sang mucikari untuk tetap tinggal di Jakarta. Kedua, Fitri digambarkan sebagai perempuan yang ramah—cenderung naif—saat dirinya bercakap dengan orang asing di terminal. Ketiga, ia memiliki komitmen pada profesinya. Terbukti ketika ia harus rela tidak dapat pulang ke kampung halamannya dan bertemu kedua orang tuanya, yang ternyata disebabkan ulah tak terpuji mucikarinya sendiri. Satu lagi adalah perjuangan akan harkat hidup yang (masih) tercermin dalam diri Fitri di menit-menit jelang film ini kelar. Tak hanya terpaksa berpeluh di atas kasur, namun kali ini ia mesti bercucuran peluh untuk pergumulan yang lebih tak mengasyikkan lagi.

Menarik menelaah karya Sidi kali ini. Dalam sebuah fragmen, ia sedikit menyinggung dua organisasi massa Islam terbesar di tanah air yang punya peran penting dalam penetapan penanggalan Hijriah, terutama terkait dengan penentuan awal-akhir Ramadan serta Idul Fitri/Idul Adha. Ya, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perbedaan dalam penetapan Idul Fitri yang dalam film ini memang relevan untuk diserempet. Fenomena yang lebih dalam lagi dibahas dalam film panjang berjudul Mencari Hilal arahan Ismail Basbeth yang tayang Lebaran lalu.

Momen hari raya memang menjadi semacam inspirasi bagi Sidi untuk membuat film. Kali ini kegelisahan seorang PSK bernama Fitri sukses ia tuangkan dalam film ini. Tidak salah makanya jika film yang sebenarnya hanya memakan dua hari proses syuting ini dinobatkan sebagai yang terbaik dalam Clermont-Ferrand International Film Festival 2013 di Paris.