“Karakter terbatas di Twitter kerapkali memunculkan bias-bias pesan yang tidak jarang menimbulkan banyak masalah”- Luhki Herwanayogi. Sebiji perkara yang memang tidak jarang timbulkan berjibun petaka. Gejala yang diangkat sutradara asal Yogyakarta itu dalam karya film terbarunya, Aku Kudu Piye, Tweeps?.
Hanya berlatar kamar pribadi yang dijejali pernak-pernik khas lelaki belia, Luhki mencoba menguak ketidaknyamanan yang bahkan bisa hadir di zona nyaman kita itu. Didot—tokoh utama film ini—digambarkan terpusing-pusing di bilik tidurnya hanya lantaran ia tidak menggunakan sosial media dengan arif.
“Sosial media punya dua sisi, positif dan negatif, sehingga kita harus pintar-pintar menggunakannya. Sosial media bisa sangat berguna, tapi bisa juga jadi petaka, bahkan datang dari tempat ternyaman kita,” ujar Luhki.
Menarik menilik beberapa fragmen dalam film ini. Sekali tempo, Luhki sempat menyisipkan sebuah kiasan dalam bahasa Jawa yang berbunyi ‘koyok munyuk ketulup’. Didot yang saat itu mencak-mencak kepada kakaknya imbas sebab sepele, ya, charger-nya telat dikembalikan. Respon Didot yang berlebihan itulah yang Read More →