04 May

Anak-Anak Rimba yang “Mbalelo”

Jauh sebelum Sokola Rimba lalu lalang di bioskop-bioskop kesayangan Anda akhir 2013 lalu, Anak Rimba keluaran Laguna TV ternyata lebih dulu mengangkat tema pendidikan yang memfokuskan baca, tulis, dan hitung (Calistung) dalam lingkungan kanak-kanak suku pedalaman. Sokola Rimba dan Anak Rimba memang mempunyai kesamaan dalam penerapan tema dan setting, namun yang paling kentara membedakan keduanya adalah soal pemilihan genre. Jika Miles Film mengangkat Sokola Rimba-nya lewat sisi drama hasil adaptasi novel dengan judul yang sama karya Saur Marlina Manurung (2007), Laguna TV memilih menggunakan metode dokumenter untuk Anak Rimba-nya. Ya, dua film yang menegaskan semangat Orang Rimba yang ogah melulu dibodohi pihak luar.

Hulu Sungai Makekal, Hutan Bukit Duabelas, Jambi, menjadi sekolah terbuka dalam arti sebenarnya bagi para kanak rimba. Atap berupa langit yang terhalang pohon-pohon perindang, papan tulis berwujud kulit kayu yang mengering, balai kayu yang tampak lapuk sebagai alas duduk ala kadarnya, pakaian hari-hari—selembar kain yang terikat di pinggul—menjadi “seragam” mereka, dan bergurukan salah seorang “mantan” anak rimba yang memutuskan untuk merantau ke kota, namanya unik, Peniti Benang. Sarana dan tenaga pendidik yang sebenarnya sangat amat tidak menunjang antusiasme belajar dari para anak rimba tersebut. Hak menjadi manusia terdidik yang sedang mereka timba di tengah sistem adat yang masih membuatnya tabu. Realitas yang kontras namun menarik ditilik lebih jauh.

Dokumenter ini juga menceritakan secuil kehidupan Marimbun, anak rimba lainnya dalam segala usahanya memperoleh panganan yang juga bersumber dari hutan yang ia diami. Makin ke sini tampaknya persaingan “perebutan” makanan di dalam hutan (lahan mukim mereka) pun semakin sengit. Orang rimba kini mendapat tantangan dari orang kota yang tidak sedikit pula bersumberpangankan hasil-hasil hutan. Bisa ditebak, di tengah segala keterbatasan orang-orang rimba, orang-orang kota sangat diuntungkan dalam hal ini, bahkan dalam segala hal yang melibatkan keduanya. Ya, sebuah relevansi dari kalimat terakhir alinea pertama ulasan ini.

Lain lagi dengan Pangendum yang bercita-cita menjadi dokter. Terbentur aturan adat yang tidak membolehkannya keluar “rumah”, ia mencoba “mengakalinya” dengan membantu orang-orang rimba yang memerlukan bantuan kesehatan dengan menemani mereka ke Puskesmas terdekat. Namun hanya bagi para orang rimba yang berjenis kelamin laki-laki yang Pangendum antar. Lalu bagaimana jika para perempuannya yang menderita sakit? Apa dasar yang membedakan keduanya dalam hal pemenuhan hak kesehatan?

Pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sosial orang rimba memang salah tiga yang difokuskan dalam film rilisan 2003 ini. Dalam kehidupan rimba kini, mungkin masih banyak Peniti Benang atau Pangendum-Pangendum lain yang masih terkungkung dalam hutan tempat mereka tinggal, sambil menunggu restu adat dan orang tua mereka masing-masing demi keluar dari zona nyamannya tersebut. Gambaran yang masih memiliki benang merah jika ditarik dalam perkara anak-anak kota yang diharuskan masuk jurusan IPA oleh orang tuanya. Persis seperti adat kebanyakan keluarga keturunan di Indonesia yang anak-anaknya—kalau tidak ingin memakai kata diwajibkan—diarahkan untuk menikah dengan anak-anak serumpunnya pula.

Sherina Munaf membuka film ini dengan tembangnya yang berjudul Andai Aku Besar Nanti. Hingga kredit film tiba, suara dan intonasi jitunya sukses menjadikan narasi dokumenter ini terdengar renyah dalam menopang alur cerita. Pun dilengkapi komposisi musik khas Elfa Secioria yang mengalun empuk di telinga, menaikkan mood film, dan menunjang visualisasi cerita. Ya, sekelumit cerita dari realitas Anak Rimba yang jauh dari jangkauan pemerintah apalagi hingar-bingar kaum urban.

P.S:
Anak Rimba merupakan salah satu episode dari serial Kampoeng Halaman yang dimuat dalam kanal Selasar Nusantara dan dapat kamu simak dengan mengklik tautan: kineria.com/Selasar-Nusantara.