26 May

Profil Sutradara: Christopher Hanno

Tujuan yang diusung oleh Christopher Hanno kala menggarap “Nagasari” boleh dibilang mulia. Betapa tidak, pria lulusan University of British Columbia, Vancouver, Kanada, ini ingin memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat internasional, khususnya Kanada. Semangatnya ini mencuat setelah Hanno, begitu dia akrab disapa, memperhatikan film-film negara lain, salah satunya Jepang, yang mencampurkan unsur kultural ke dalam tatanan penceritaan di film secara tepat guna.

“Negara lain, apalagi kayak Jepang, kulturnya sangat kuat dan mereka bisa berhasil membuat film dan nunjukin ke dunia tentang kebudayaannya. Indonesia mempunyai sangat banyak kebudayaan, tapi cara kemasnya harus modern. Pengen mengemas kultur Indonesia agar orang di luar sana bisa menikmati. Kita buat film ini sebenernya pengen orang-orang di sana [Kanada] lihat tentang kebudayaan dan nunjukin jati diri kita,” ungkapnya seraya membuka percakapan.

Alasan yang mendasari keinginannya ini makin kuat, mengingat Hanno kerap terlibat dalam berbagai acara kebudayaan yang digelar oleh Konsulat Indonesia di Kanada. Baginya, ada perasaan bertanggung jawab untuk lebih aktif dalam mengenalkan kebudayaan tanah kelahirannya ini. Ide ini lantas diutarakannya di hadapan rekan-rekan sesama kru “Nagasari” yang disambut dengan antusias. Kebetulan, deretan kru mayoritas berasal dari Indonesia.

Christopher HannoKepada Kineria, Hanno juga bercerita mengenai awal mula terbentuknya konfigurasi kru di belakang film “Nagasari”. “Di Kanada suka hangout bareng teman-teman yang beberapa berasal dari Indonesia. Akhirnya kita iseng-iseng buat video di YouTube. Tapi, setelah buat beberapa video, kita berhenti dan mulai ngobrolin untuk membuat film. Sampai akhirnya, setelah lulus kuliah kita semua akhirnya membuat film,” papar lajang yang lahir di Jakarta tanggal 28 April 1987 ini.

Dari sini, Hanno yang ditemani Eduardus Pradipto pun merancang cetak biru “Nagasari”. Hal pertama yang dilakukan oleh alumnus SMA Kolese Kanisius ini adalah merancang tatanan penceritaan yang akan digulirkan di filmnya. Mendapatkan inspirasi bagi Hanno cenderung bukan perkara sulit, terlebih apa yang hendak disampaikannya di dalam film masih lekat dengan keseharian.

“Ide awalnya sebelum story, kita pengen bikin film tentang culture Indonesia, yang ada makanan dan tarian Indonesia-nya. Terus kita pengen ngemas kedua hal tersebut dalam sebuah cerita agar lebih meaningful. Kalau ceritanya, selain terinspirasi dari salah satu teman, secara garis besarnya ada impian orang Indonesia yang pindah ke luar negeri hidupnya bisa lebih baik, tapi kadang-kadang ekspektasi itu tidak berjalan sebanding. Lalu, setelah saya buat ceritanya, ini cerita tentang orang imigran Indonesia yang pergi ke luar negeri, apa yang mereka takutin. Saya  pikir ini salah satu yang paling ditakutin,” jelas Hanno.

Inspirasi juga didapat oleh Hanno dari om dan tantenya. Selama menetap di Vancouver, Hanno memang tinggal bersama mereka. “Saya belajar banyak dari mereka. Sudah tua tapi bisa dibilang masih romantis, kayak pasangan yang udah ditakdirkan gitu,” katanya. Dua sosok penting dalam hidupnya ini melahirkan karakter ayah dan ibu, lengkap dengan segala problematikanya.

Dalam menggarap naskah, Hanno pun tak sendirian. Dia mendapatkan bantuan dari Pinky Hapsari yang juga ditunjuk sebagai salah satu pemeran di “Nagasari”. “Saya bikin ceritanya pakai bahasa Inggris dulu terus dibantuin sama Pinky Hapsari untuk dibuat versi Indonesia-nya, dan ditambah bahasa-bahasa Jawa — soalnya saya nggak bisa bahasa Jawa sama sekali. Jadi kita berdua diskusi dalam membuat script film ini. Pinky juga suka ngasih masukan di dalam script ini agar ceritanya lebih make sense,” tuturnya.

Dibutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga bulan bagi mereka untuk menuntaskan naskah. Tetapi, kenapa harus Jawa? “Karena yang paling bisa dan banyak temen-temen yang lebih ke Jawa. Barang-barangnya juga udah ada, kayak batik dan wayangnya,” ujar Hanno yang mengambil program studi computer science semasa kuliah ini.

Setelah naskah telah berada dalam genggaman, dan kru pun telah bersatu padu, “Nagasari” menghadapi permasalahan terakhir sebelum dapat dieksekusi. Ini adalah permasalahan umum yang kerap menyerang para pembuat film independen — bujet. Sebelum dapat membuat filmnya, Hanno dan tim harus sabar menanti kemurahan hati sponsor untuk menggelontorkan dana. Salah satu yang bersedia adalah Konsulat Indonesia, meski jumlah yang diterima tidak terlalu besar. “Dalam dolar, seharusnya 1500 dolar, tapi dapetnya sekitar 500 dolar lebih. Semua tim kita juga volunteer. Bujet digunainnya buat set dan prop, dan sisa-sisa uangnya digunain untuk nayangin film ini, buat bayar tempat. Abis itu, setelah penayangan, kalau kita dapat untung, uangnya untuk cast semuanya,” terang Hanno.

Minimnya dana yang diterima tidak menyurutkan langkah Hanno dan kawan-kawan untuk merealisasikan “Nagasari”. Apalagi, film ini menjadi semacam impian bersama yang ingin dicapai sebelum masing-masing berpisah. Semacam proyek besar terakhir yang dilakoni bersama. Adakah cerita di balik layar dari film yang pengambilan gambarnya menggunakan DLSR Cannon 5D ini?

“Ada beberapa, kayak misalnya pas buat tarian itu kita dipinjemin satu tempat sama salah satu komunitas di sana, kelarnya jam 1 malem. Terus, itu setengah hari buat nge-shoot penarinya. Selama enam jam lebih dia nari, terus abis itu kita cek, terus kita musti shoot lagi. Eugene [Kuatsjah – Desainer Produksi] hari itu kerja keras banget sih, dibantu kru-krunya juga, dia yang nentuin letak kursi dan mendesain look-nya,” kenang Hanno.

Perjuangan keras yang dijalani Hanno dan tim membuahkan hasil. Selain mendapat undangan untuk ditayangkan di beberapa festival film di Kanada, “Nagasari” pun digelari Film Daerah Terpilih oleh Piala Maya pada akhir 2013 silam. Tapi yang paling berkesan bagi Hanno adalah reaksi penonton saat menyaksikan “Nagasari”, “Ada yang nangis sedih dan ada juga yang terharu,” pungkasnya. 

Ingin menonton film “Nagasari” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.