18 Nov

Review : Harry van Yogya

Setelah memulai langkah yang meyakinkan lewat ‘Hide and Sleep’ yang dipenuhi shot bernada eksperimental, Ismail Basbeth mengemas film keduanya yang diberi tajuk ‘Harry van Yogya’ secara sederhana. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang aneh di sini, segalanya dialirkan dengan cara yang terbilang normal untuk ukuran Ismail Basbeth, berlangsung singkat, tetapi lagi-lagi menyimpan kritikan sosial terhadap kondisi sosial di sekitar kita yang begitu menohok. Jika ada bentuk percobaan yang kentara terasa di film kedua si pembuat film ini, maka itu bukanlah soal gaya pengambilan gambar atau tatanan pengisahannya. Itu berkaitan dengan aliran jenis film yang dipilihnya. Tidak lagi bermain-main di ranah fiksi, Ismail Basbeth mencoba untuk mengambil jalur dokumenter demi menghantarkan gagasan yang ingin disampaikannya melalui ‘Harry van Yogya’.

Dengan durasi yang hanya merentang sepanjang 6 menit, ‘Harry van Yogya’ mengalir secara ringkas, padat, dan jelas. Apa yang dikuliknya pun sejatinya sederhana, mengenai seorang tukang becak bernama Blasius Harry – atau lebih dikenal dengan nama Harry van Yogya – yang melek terhadap perkembangan teknologi. Untuk membantu mengembangkan usaha becaknya, Harry memanfaatkan media jejaring sosial yang digandrungi oleh banyak kalangan, Facebook. Caranya yang tergolong unik ini kemudian mengundang perhatian sejumlah pihak hingga membuatnya dipinang oleh salah satu stasiun televisi untuk diwawancara. Namanya pun tenar. Tapi apa yang disoroti oleh Ismail Basbeth di film ini bukanlah itu. Dia hanya sekadar memerlihatkan keseharian Harry, dari mulai menimba air di sumur, mengutak atik akun jejaring sosialnya, hingga mengantarkan penumpang. Di sela-sela itu, melalui narasi, Harry mengutarakan pandangannya seputar kondisi sosial politik di Indonesia yang karut marut.

harry-van-jogja

Terdengar sederhana? Memang. Seperti halnya film Ismail Basbeth yang lain, sebut saja ‘Shelter’, ‘Harry van Yogya’ pun terkesan sepele dan dangkal. Sebagai sebuah film dokumenter, topik yang diangkatnya sungguh sangat sederhana. Tidak ada sesuatu yang benar-benar mengikat, layak dijadikan pembahasan panjang, atau malah mengubah persepsi masyarakat terhadap suatu masalah… sepertinya. Di balik pengemasannya yang serba sederhana – dan malah mengingatkan seperti sebuah video pendek yang biasanya ditayangkan di salah satu talk show negeri ini – ‘Harry van Yogya’ memiliki pesan yang mencengkram begitu kuat dan bisa saja malah menonjok Anda keras-keras. Malah, saya menduga adanya unsur kesengajaan dari Ismail Basbeth untuk menghidangkan filmnya ini dengan gaya yang sederhana. Ini dilakoninya guna mengaitkan dengan pesan yang ingin disampaikannya melalui ‘Harry van Yogya’. Benarkah?

Bisa jadi. Dengan bentuk yang seolah dikreasi apa adanya, ‘Harry van Yogya’ membentuk anggapan dari masyarakat bahwa ini hanyalah sebuah film dokumenter menjemukan yang dikreasi oleh sutradara amatir. Alpanya topik yang cetar membahana semakin menguatkan anggapan itu. Ini berarti, semacam memberi penghakiman terhadap sesuatu hal (atau benda, atau seseorang) tanpa pernah mengetahui kebenaran di baliknya. Penilaian dari tampilan luar semata. Bukankah ini erat kaitannya dengan apa yang Ismail Basbeth coba haturkan lewat ‘Harry van Yogya’? Ya, si pembuat film menyentil masyarakat kebanyakan yang begitu mudahnya memberikan cap atau stereotip terhadap apa yang mereka lihat di sekitar. Berapa banyak dari kita yang menempelkan stereotip ‘orang tak berpendidikan’ kepada tukang becak? Banyak.

Masyarakat dari kelas bawah dengan pekerjaan yang tak mentereng kerap diasosiasikan sebagai masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Opini mereka kerap disepelekan lantaran ditempeli stereotip tak berhati ini. Si pembuat film memang tidak ingin menampik bahwa ini sepenuhnya keliru, hanya ini tidak sepenuhnya benar. Sosok Harry van Yogya dipilih sebagai contoh. Walau profesinya hanyalah tukang becak, akan tetapi dia melek teknologi. Memiliki laptop, tiada mengalami kesulitan berarti dalam berselancar di dunia maya, dan mampu memanfaatkan Facebook untuk keperluan positif yang menyokong penghasilannya. Terdengar tidak istimewa? Tunggu hingga Anda mengetahui berapa banyak masyarakat kelas menengah ke atas yang gagap teknologi: jangankan bermain jejaring sosial, mengoperasikan komputer saja kesusahan. Belum ditambah kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat menghabiskan waktu di Facebook atau Twitter untuk main-main belaka. Ironi inilah yang menjadikan film menarik.

Yang membuatnya semakin menarik, dalam menghantarkan kisah, Ismail Basbeth tidak memanfaatkan narasi dari Harry untuk menceritakan siapa dirinya, bagaimana kondisi keluarganya, pendidikannya, dan semacamnya. Baginya, itu tidak terlampau krusial di durasi sependek ini. Sebagai gantinya, Harry berceloteh seputar pandangannya mengenai betapa busuknya dunia politik di Indonesia yang sarat akan korupsi, minimnya tanggung jawab terhadap wong cilik dan para pemimpin yang tak bermental pemimpin. Mengejutkan. Sebuah upaya lain dari si pembuat film untuk mengoyak ‘stereotip seenaknya’ dilakukan di sini. Si tukang becak yang tampak biasa-biasa saja, seperti tidak ada bedanya dengan tukang becak lain, ternyata memiliki pandangan politik dalam negeri yang mengesankan. Ini menjadi ironi karena kenyataannya ada banyak mahasiswa di luar sana yang tidak tahu (atau tidak mau tahu?) perihal politik.

Ada sesuatu yang unik – yang baru saya rasakan setelah menonton ulang – di peruntuhan stereotip yang dilakukan oleh Ismail Basbeth dalam ‘Harry van Yogya’. Ismail Basbeth menggunakan medium berbeda dalam penuturannya, gambar dan suara. Dari gambar, kita melihat sisi lain dari Harry yang melek teknologi. Sementara dari suara, kita mengetahui bahwa Harry tidak hanya jago mengurus akun Facebook tetapi juga paham dengan dunia politik Indonesia yang mengkhawatirkan. Ketika sisi audio dikawinkan dengan sisi visual, hasilnya pun terasa istimewa. ‘Harry van Yogya’ boleh saja tidak terlampau mengundang selera dari segi penampilan, tetapi untuk rasa tidak perlu ditanya. Begitu lezat dengan kandungan gizi tinggi di dalamnya.