18 Jul

Ulasan Film: “Regret”

Apakah ada penyesalan besar dalam hidup yang membekas sehingga membuat Anda berharap dapat mengulang waktu untuk memperbaikinya? Rasa-rasanya, nyaris setiap orang memilikinya dengan tingkatan berbeda-beda, disertai beragam upaya untuk merepresinya.

Jika cukup beruntung, ada peluang emas datang memberi kesempatan bagi si pelaku untuk merekonstruksi bagian-bagian yang dianggapnya membawa rasa sesal tak berujung, walau hasilnya tentunya tidak akan sama persis seperti yang diharapkan. Terkadang, ketika penyesalan ini senantiasa membayangi dan sulit dienyahkan begitu saja, muncul sedikit pengharapan bahwa film adalah sesuatu yang nyata. Beragam keajaiban di dalamnya dapat diaplikasikan di kehidupan sehari-hari.

Betapa tidak, cobalah hitung berapa kali seorang tokoh di dalam film memperoleh kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan? Entah itu lewat cara yang tampaknya realistis maupun nyeleneh sekalipun. Tapi sayangnya, itu hanya sekadar ada dalam film, penjual mimpi, yang mungkin saja akan terus berada di angan-angan belaka. Regret PosterAh.

Tetapi, dalam “Regret” yang notabene adalah sebuah film – atau dalam hal ini adalah film animasi pendek – keajaiban tidak serta merta memperlihatkan wujudnya untuk menggapai lengan si tokoh utama dan menawarkan bantuan. Tidak. Tuturan yang hadir di film arahan Uly Novita Andrian Siahaan ini malah cenderung berada di batasan kenyataan, menghindari imajinasi sejauh mungkin meski medium yang dimanfaatkan dalam mengalunkan gagasan adalah animasi, di mana kreativitas dibebaskan sebebas-bebasnya sehingga tidak ditemukan pembatas yang mengekang – selain tentunya masalah pendanaan.

Namun, justru inilah yang membuat “Regret” terasa menarik buat disimak, lantaran si pembuat film memutuskan untuk mengarahkan film miliknya bertutur apa adanya dan mengikuti alur kehidupan yang seringkali tidak berjalan sesuai dengan perencanaan. Karena itu, meski gelaran pengisahannya tidak akan sama persis dengan pengalaman hidup masing-masing penonton, ceritanya masih memiliki sisi personal – khususnya bagi mereka yang memiliki riwayat kehidupan tak mengenakkan dalam keluarga.

Penyesalan yang muncul di “Regret” adalah buah dari tindakan kekerasan. Keluarga yang seharusnya menjadi institusi sosial pertama bagi anak untuk mempelajari bagaimana cara bersikap yang layak justru disalahgunakan untuk melampiaskan amarah sebebas-bebasnya tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.

“Regret” menunjukkan bagaimana seorang ibu tidak mampu mengendalikan amarahnya saat si anak berbuat kesalahan. Ketimbang memberikan pengarahan maupun nasihat baik, si ibu tidak segan-segan melayangkan tangannya yang lantas mendarat secara kasar di pipi si anak. Kekasaran dalam menyikapi permasalahan ini masih ditambah pula oleh serangan verbal yang bisa jadi meninggalkan trauma lebih besar. Apakah ini adalah sebuah tindakan yang sepatutnya dilakukan oleh si ibu yang secara langsung peranannya dalam mendidik berkontribusi besar terhadap tumbuh berkembangnya si anak? Sebuah pertanyaan retoris, tentunya.

Lalu, usai insiden pecahnya sebuah vas di ruang tamu yang berujung pada tamparan maut, penonton lantas digilir ke tindak kekerasan lain. Kali ini, tidak main-main. Ketika tamparan menggunakan tangan dianggap tidak cukup untuk membuat si anak jera dan mungkin saja kepuasan batin dalam meluapkan amarah gagal dicapai, maka alat pembersih rumah yang terbuat dari kayu pun dipergunakan sebagai alat bantu, meninggalkan rasa nyeri yang teramat sangat.

Pada titik ini, saya pun bertanya-tanya. Apakah kekerasan kedua yang dihadirkan oleh “Regret” ini adalah perpanjangan dari kekerasan pertama? Menganggap awalnya adalah bentuk kemarahan yang kian menjadi-jadi sehingga hukuman yang ditimpakan kepada si anak dilipatgandakan, sebuah pertanyaan terjawab melalui sosok sang nenek. Duduk manis di kamarnya, termenung memandangi cermin yang kemudian memantulkan bayangan yang berasal dari masa lampau. Kesalahan besar telah dilakukannya, dan kini perasaan bersalah menghantuinya.

Dari sini lantas bisa dipahami bahwa kekerasan dalam keluarga ini menjadi semacam tradisi turun temurun. Apa yang diperbuat oleh si nenek – berdasarkan rilisan resmi dari si pembuat film bernama Dina – kepada putrinya, Mia, meninggalkan luka mendalam yang lantas disalurkan oleh Mia ke putrinya lewat cara yang lebih tak manusiawi. Warisan berupa kekerasan yang lintas generasi inilah bentuk penyesalan terbesar bagi Dina karena melihat bagaimana cucunya diperlakukan, bukan mustahil ini akan terus berlanjut. Menghentikannya untuk menghapuskan rasa sesal pun tidak lantas menjadi mudah karena mungkin saja Mia akan menganggapnya sebagai bentuk ketidakadilan sehingga berpotensi memicu perlakuan keji lainnya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Dina untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu selain memandangi cermin, berharap ada kesempatan mengulang waktu yang menghampirinya.

Dengan durasi singkat, tidak mencapai 4 menit, “Regret” terasa ringkas namun tetap bernas dalam menyampaikan gagasannya. Film pendek ini terhindar dari kesan bertele-tele, kelewat dramatis, dan menjemukan yang bisa saja hinggap dalam tuturan semacam ini apabila tidak dipadatkan secara efektif. Uly Novita Andrian Siahaan jelas telah melakukan tugasnya secara baik.

Menariknya, tidak ada penggunaan dialog dalam film ini. Pesan utamanya seputar penyesalan – beranjak dari “berpikirlah dua kali sebelum memutuskan untuk bertindak” – direkatkan secara tepat bersama isu kekerasan dalam rumah tangga yang dihantarkan seutuhnya oleh si pembuat film melalui bahasa gambar. Sebuah keputusan yang kemudian memberikan dampak positif maupun negatif bagi film. Positif, tuturan “Regret” tidak terasa cerewet dan menceramahi – seperti yang biasanya terjadi pada film bermuatan pesan moral. Negatif, ada kebingungan dalam mencerna tuturan penceritaan. Terlebih, desain animasi untuk setiap tokohnya cenderung serupa.

Ingin menonton film “Regret” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.