27 Nov

Ulasan Film “Rumah Senja”

Film pendek Rumah Senja

Apakah arti dari keluarga? Secara general, keluarga memiliki arti sebagai kelompok sosial terkecil dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang terdiri atas sejumlah individu dan memiliki hubungan, ikatan, kewajiban, serta tanggung jawab diantara satu sama lain. Apabila diartikan lebih luas, boleh jadi keluarga menemukan maknanya masing-masing pada sejumlah orang, tak persis sama. Bagi penulis sendiri, keluarga adalah sebuah tempat dimana sekumpulan orang peroleh cinta, kasih sayang, maupun kebersamaan secara tulus tanpa membubuhkan pamrih di atasnya. Pada hal ini, tidak terbatas pada keluarga inti semata – seperti ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, dan semacamnya – tetapi turut mencakup ‘kawan seperjuangan’ yang saking lengketnya sampai-sampai hafal luar dalam diri kita. Bukankah sering mendengar, “kami begitu akrab, dia sudah saya anggap seperti saudara sendiri” di keseharian?

Akan tetapi, sedihnya, tidak semua orang menghargai salah satu hadiah terindah yang diberikan oleh Tuhan ini. Di tengah era teknologi informasi yang telah begitu maju – sekaligus menuntut masyarakat bergerak lebih aktif agar tak tergerus habis oleh persaingan – malah kebersamaan diantara anggota keluarga semakin menurun dalam tingkatan signifikan, tidak sedikit pula yang hilang sama sekali khususnya bagi para perantau. Frekuensi kumpul bareng dapat dihitung menggunakan jari, biasanya pun hanya sekitar 2-3 kali per tahun. Malah jika sibuknya bukan kepalang, momen istimewa semacam hari besar keagamaan yang dimanfaatkan sebagai ajang silaturahmi pun dilewatkan begitu saja… entah dilengkapi penyesalan maupun tidak. Quality time semakin berkurang berdampak pada renggangnya hubungan. Apakah betul masyarakat dewasa ini telah banyak yang melupakan arti pentingnya sebuah keluarga?Film pendek Rumah Senja

Itu benar adanya, setidaknya pada ‘Keluarga Senja’ arahan AB Kusuma. Selama kurang lebih 14 menit, si pembuat film merekam betapa modernisasi telah menciptakan sekat penghalang diantara individu-individu yang dulunya tumbuh berkembang bersama. Sebuah jurang pemisah pun turut hadir. Nenek Senja (Laksmi Notokusumo), yang telah berusia 70 tahun, menyadari betul hal ini. Kebersamaan yang dulu menyelimuti keluarga besarnya secara perlahan-lahan tapi pasti runtuh. Putra-putri kesayangannya yang telah berumah tangga tidak lagi mengisi hari-harinya yang, sesuai namanya, telah senja. Kesunyian dan kesepian telah menjadi sahabat dekatnya. Hanya Asih, pengurus rumah sekaligus orang kepercayaan Nenek Senja, dan seekor kucing bernama Bhayangkara yang bersedia menemani Nenek Senja melewati hari. Sedangkan anak-anaknya, riweuh dengan urusan masing-masing sampai tak memiliki kesempatan untuk sekadar ‘say hello’ melalui telepon.

Setelah berbulan-bulan – atau bahkan mungkin, menahun – tiada perjumpaan bersifat intens, keempat anak Nenek Senja yang rupanya tidak akur karena satu dan lain hal ini dipersatukan kembali oleh Asih untuk duduk pada satu meja beberapa hari setelah pemakaman Nenek Senja. Niatan utama yang menyelimuti pertemuan ini bukanlah melekatkan kembali hubungan yang telah mengendur terancam bubar jalan tetapi justru memperebutkan hak waris. Tidak mengherankan jika menit-menit awal diisi oleh percekcokan tiada berkesudahan yang mengungkit-ungkit kebobrokan masing-masing sekaligus masa lalu tak mengenakkan. Teka-teki yang telah dipersiapkan oleh Nenek Senja pun dipandang sebelah mata, dianggap bukan sesuatu penting. Gerah melihat adu mulut putra-putri majikannya, Asih pun menjalankan fungsinya sebagai mediator dan merangkul keempatnya untuk bersama-sama memecahkan permintaan terakhir Nenek Senja dengan kepala dingin.

‘Rumah Senja’ adalah potret sebuah ‘dysfunctional family’ yang diobrak-abrik oleh keegoisan dari setiap individu. Dibuat terlena untuk mencapai sesuatu dalam kehidupan berdampak pada kacaunya tali persaudaraan sehingga memunculkan sikap individualistis diantara saudara sekandung. Bukankah ini sesuatu yang begitu memilukan? Rutinitas yang semakin hari semakin padat dan bergerak cepat membuat beberapa orang secara sukarela mengorbankan waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Pada kasus ‘Rumah Senja’, mungkin saja ini tidak hanya terjadi pada Nenek Senja tetapi juga menantu dan cucu dari si tokoh utama. Siapa yang tahu jika putra-putri Nenek Senja, yakni, Pradhana Eka Sunjoyo, Nandini Galuh Sunjoyo, dan Andiguna Waranugraha Sunjoyo, juga memperlakukan keluarga kecil mereka selayaknya perlakuan terhadap ibu mereka? Bisa saja. Terlebih alasan utama yang mendasari gagalnya tercipta sebuah pertemuan adalah sibuk, bukan yang lain.

Sebagai sebuah bahan perenungan, ‘Rumah Senja’ terasa menarik. Penonton dihadapkan pada pertanyaan, “seberapa penting posisi sebuah keluarga di dalam kehidupanmu?”. Apakah hanya sekadar hiasan pemanis belaka, syarat untuk tampak elok di mata masyarakat, bagian tak terpisahkan, atau adakah jawaban lain? Seperti yang telah penulis singgung di paragraf pembuka, setiap individu boleh jadi memberikan tanggapan yang beraneka ragam satu sama lain tergantung pada seberapa kuat keluarga memagang peranan pada jalan hidupnya. Segala gagasan apik seputar fungsi dan arti sesungguhnya dari sebuah keluarga ini lantas dikemas memikat oleh AB Kusuma lewat ‘Rumah Senja’ dengan pengaplikasian gaya tutur yang mencampurkan teknik flashback ke sela-sela perdebatan panas yang nyaris berlangsung sepanjang film. Secara bertahap penonton mendapat gambaran seutuhnya tentang apa sejatinya yang terjadi di rumah ini dan menjadi mengikat berkat adanya sedikit ceceran petunjuk misteri permintaan terakhir Nenek Senja. Mengesankan.