21 Apr

Ulasan Film: “Moriendo”

“Moriendo” karya Andrey Pratama adalah salah satu film yang berhasil membetot perhatian saya kala menyimak film-film pendek di gelaran XXI Short Film Festival setahun silam. Setidaknya, ada dua alasan yang membuat saya tertarik untuk memberi perhatian lebih terhadap film ini: (1) Ini adalah sebuah film animasi, dan (2) apa maunya film ini. Menemukan sebuah film animasi buatan dalam negeri bukanlah perkara yang mudah, karena terlalu banyak sineas berbakat yang enggan untuk berkecimpung di dalamnya. Kalaupun ada, jumlahnya tak banyak. Selain itu, kualitas penggarapannya seringkali memprihatinkan, seolah hanya mengikuti syarat “yang penting jadi”.

“Moriendo” adalah salah satu dari sedikit film animasi dengan kualitas pengerjaan di atas rata-rata. Terlihat jelas bahwa film ini digarap secara serius, penuh kecermatan, dan dibubuhi cinta di dalamnya.

Moriendo-Poster-RoundDiadaptasi dari sebuah cerpen karangan Noviana Kusumawardhani yang berjudul “Sebuah Pagi dan Seorang Lelaki Mati”, “Moriendo” bertutur mengenai perjumpaan seorang perempuan dengan seorang lelaki tua di sebuah taman. Setelah ditinggal pergi oleh seseorang yang dikasihinya, perempuan tersebut tidak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidup, dan mengharap kematian akan segera menjemputnya. Si kakek tua yang ternyata jelmaan dari malaikat pencabut nyawa, menawarkan diri untuk mengambil jiwa dari perempuan tersebut, apabila diperkenankan. Lalu, apa yang terjadi di menit-menit berikutnya dalam “Moriendo” memiliki keterkaitan dengan upaya manusia untuk berdamai dengan kenangan-kenangan pahit di masa lampau, menerima jalan hidup yang dilalui dengan hati lapang terbuka, hingga pengorbanan.

Tidak hanya sisi visual animasi yang membuat perhatian saya tercuri kala melahap “Moriendo”, tetapi juga sisi penceritaannya. Saat menyaksikannya pertama kali di festival film pendek yang digelar oleh Cinema 21 tersebut, berbagai pertanyaan dan serangkaian interpretasi menyerbu pikiran. Apa sebetulnya yang ingin disampaikan oleh film ini?

Andrey Pratama memilih untuk tidak melantunkan film garapannya ini secara lugas dengan pola pengisahan yang melaju secara linear, namun bermain-main dengan kata melalui tatanan dialog yang meluncur puitis lewat jalan penceritaan yang nonlinear. Menontonnya secara sekilas sambil lalu tanpa bersedia untuk mencurahkan sedikit perhatian bukanlah sebuah keputusan yang bijaksana, hanya akan membuat Anda kebingungan. Butuh konsentrasi lebih untuk bisa meresapi makna film dan maksud serta tujuan yang hendak diutarakan oleh si pembuat film.

Tapi jangan salah. Sekalipun “Moriendo” dikondisikan oleh Andrey Pratama sebagai sebuah tontonan serius yang menuntut penonton untuk memanfaatkan mata, hati, dan pikiran, saat menyantapnya–jelas bukan sebuah gelaran yang dapat Anda nikmati dengan bersantai ria seraya mengunyah kudapan–, film ini tetaplah sebuah tontonan yang mengikat.

Dengan durasi yang serba terbatas–hanya merentang sekitar enam menit–si pembuat film mampu memanfaatkannya dengan sangat baik dan tepat guna berceloteh seputar sisi kelam kehidupan manusia, kematian, hingga pengorbanan. Tapi apakah hanya itu yang diperbincangkan di sepanjang durasi film? Tergantung pandangan masing-masing penonton. Ada sisi mengasyikkan dari sebuah film yang tidak kelewat cerewet dan lugas dalam menuturkan kisahnya. Penonton seolah dilibatkan lebih dalam untuk mengurai, menyibak, dan mengungkap maunya si pembuat film.

Yang juga menyenangkan dari “Moriendo”, Andrey Pratama pun seolah ingin menghidangkan film ini kepada penonton sebagai media untuk berkontemplasi. Penonton dihadapkan pada serangkai pertanyaan dengan jawaban yang dikembalikan pada masing-masing individu. Saat kita kehilangan seorang terkasih dalam hidup, apakah kita mampu menerimanya dengan lapang dada seperti saat kita mengucapkannya kepada orang lain untuk menghibur?  Lalu, apakah sebuah tidak kewajaran saat kematian dirayakan dengan perasaan penuh suka cita alih-alih bermuram durja penuh cucuran air mata? Dan, saat kita merasa diri ini tidak berharga dan kehidupan yang dilalui seolah tidak memiliki arti, apakah orang lain juga memiliki anggapan yang serupa? Deretan pertanyaan-pertanyaan yang jelas menarik untuk diulik lebih mendalam dan dijadikan sebagai bahan renungan.

Tidak salah rasanya para juri di XXI Short Film Festival 2013 menobatkan “Moriendo” sebagai Film Pendek Animasi Pilihan Media. Sebagai sebuah karya perdana yang mulanya hanya ditujukan untuk memenuhi syarat tugas akhir, “Moriendo” jelas terbilang memuaskan. Andrey Pratama mampu menghasilkan teknik animasi yang berada di atas rata-rata film animasi pendek kebanyakan di Indonesia.

Menariknya, dia tidak lantas berpuas diri tatkala animasi yang dipolesnya telah terbilang layak tonton. “Moriendo” mampu berbicara banyak tidak hanya lantaran ditopang dari sisi visual semata. Secara cerdas, Andrey Pratama berhasil mengawinkan kehalusan animasi dengan tatanan penceritaan yang kuat, padat berisi, dan menggugah selera. Ini masih pula ditunjang oleh musik latar gubahan Patrick Runbladh yang begitu indah, melodius, dan memberikan nyawa kepada setiap adegan–sebuah poin lebih untuk “Moriendo”.

Andrey Pratama jelas telah menunjukkan kegemilangan dalam karya perdananya yang–harus saya katakan–merupakan sebuah gelaran yang begitu memikat, mengikat, dan menunjukkan keberanian dalam bertutur. Menarik untuk melihat karyanya yang selanjutnya.

Ingin menonton film “Moriendo” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.