23 Jul

Suka Suka Suku Bajo

Merindukan kampung halaman memang suatu yang wajar, apalagi di hari-hari menjelang Lebaran. Tidak salah pula jika tiket beragam moda transportasi lintaskota lintasprovinsi ludes terjual sejak jauh-jauh hari. Bagi kamu yang tidak kebagian dan harus rela tak pulang kampung, tenang saja. Untuk meminimalisasi kekenyangan kangen pada kampung halaman, Kineria dan Laguna TV siap membantu kamu lewat serial Kampoeng Halaman.

Episode Dunia Air Suku Bajo yang duluan kami bahas. Dokumenter yang memvisualkan daya pikat laut dan kehidupan sosial salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara ini, mungkin sedikit membesitkan kamu pada Wakatobi. Ya, Suku Bajo adalah suku yang lahir dan hidup di laut, tinggalnya menyebar, nomaden, dan tak hanya ada di satu provinsi saja. Maka jangan memasang ekspresi takjub sambil mengucek-ucek mata begitu kamu menjejakkan kaki di sana lalu tampak rumah-rumah apung di atas lautnya.

Membayangkan punya rumah berhalamankan laut lepas bagi pemukim perkotaan memang hanya kejadian saat musim hujan tiba. Sebaliknya bagi Suku Bajo, mereka memiliki halaman terluas di dunia, ya, laut lepas sungguhan. Bukan yang halamannya ketika banjir tiba lalu terendam lalu tanaman mereka rusak dan akses ke luar rumah terhambat. Lain hal bagi Suku Bajo, mereka manfaatkan dengan wajar halaman rumahnya tersebut sebagai sumber kehidupan sehari-hari.

Berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai bisikan hati, kayuh demi kayuh, berteman dengan laut sambil mengelola ekosistemnya. Kehidupan orang Sama—sebutan sesama Suku Bajo di kalangan mereka—adalah contoh sebuah kearifan lokal yang patut dijadikan bahan ajar khususnya di sekolah-sekolah pun selayaknya diberi slot-slot siaran oleh stasiun tv di kita. Ya, karena Dunia Air Suku Bajo menawarkan kepada penontonnya bagaimana hidup, dihidupi, menghidupi, dan dapat bertahan hidup dengan senang hati di tengah lautan tanpa iming-iming one stop living ala Agung Podomoro. Alasan itu pula yang menjadikan judul tulisan ini dimulai dengan frase “suka suka” bukan “suka duka”.

Bagaimana membayangkan sesaknya hidup di atas seonggok perahu kayu bersama-sama keluarga besar? Tidak perlu dibayangkan bagi Suku Bajo, dalam film ini bahkan tergambar keterbatasan ruang sebuah perahu yang dijejali tiga kepala keluarga. Nyaman-nyaman saja tuh bagi mereka, asalkaaan…perahu mereka terletak jauh dari gelombang air laut. Nah, oleh sebab itu Suku Bajo hidup berpindah-pindah bergantung pada musim dan tiupan arah angin.

Dokumenter ini pula menceritakan sejumput kisah Rambo—si anak manusia air—. Dimulai dari perjuangannya menangkap ikan (secukupnya) dan hasil laut lain untuk kebutuhan makan ia dan keluarga. Hanya dengan alat seadanya dan tanpa bantuan alat pernapasan ia menyelam hingga dasar laut. Melihat teknik dasar renang Rambo dan pemuda Suku Bajo lainnya, agaknya cukup untuk membuat anak-anak binaan klub renang Richard Sam Bera sedikit minder. Sembari menatap kelihaian Rambo cs. mengarungi lautan, kita pun mendapat suguhan panorama khas bawah laut Teluk Likuokima, Kendari.

Rambo kembali. Kali ini dengan kisah cintanya. Ia mengutarakan niat kepada orang tuanya untuk mempersunting gadis idamannya, Ruwati. Singkat cerita, penghulu dari desa sebelah—desa yang memang lebih maju—akhirnya didatangkan. Serupa rangkaian pernikahan dalam keluarga non-manusia air, Suku Bajo pun memulainya dengan silaturahmi, persetujuan kedua belah keluarga, yang dilanjutkan hitung-hitungan seserahan. Tak perlu heboh-heboh macam Raffi-Gigi, Rambo-Ruwati sah menjadi sepasang suami istri keesokan harinya.

Hmm…seperti apa ya prosesi pernikahan ala Suku Bajo? Karena tidak disiarkan di televisi terestrial, maka dari itu lebih baik kamu mengklik https://kineria.com/Dunia-Air-Suku-Bajo.