30 Mar

Review : The Raid 2: Berandal

Tidak ada yang pernah menyangka film arahan Gareth Evans, “The Raid” (2011), akan menjadi salah satu fenomena sinema dunia pada tahun 2012. Walau disokong dana terbatas, secara mengejutkan film ini mampu menggurita di berbagai tangga box office – salah satunya adalah Amerika Serikat – dan menjadi bahan pembicaraan di kalangan penikmat film laga hingga saat ini. Dengan kesuksesan besar yang diraupnya, termasuk berjasa dalam melambungkan nama Iko Uwais dan Joe Taslim ke kancah industri perfilman internasional, maka tidak perlu memiliki otak yang jenius untuk menebak bahwa akan ada sekuel untuk film yang menggemparkan ini. Benar saja, dua tahun berselang, sebuah kelanjutan bagi “The Raid” pun lahir dalam bentuk “The Raid 2: Berandal”. Dengan begitu tingginya harapan dan hype untuk sekuel ini, timbul pertanyaan: Apa yang akan dilakukan oleh Evans di sini? Akankah dia mampu melampaui segala kegilaan yang diciptakannya di film pertama? Mari kita lihat.

Berselang dua jam setelah berhasil melepaskan diri dari gedung bertingkat yang mematikan – latar utama dan satu-satunya di “The Raid” – Rama (Iko Uwais) masih belum diizinkan untuk mengistirahatkan jiwa raganya serta menikmati segarnya hembusan angin kebebasan. Bunawar (Cok Simbara), pemimpin satuan antikorupsi di Indonesia, merekrutnya untuk melakoni sebuah misi penting, yakni menyibak identitas para polisi kotor. Untuk menuntaskan misi ini secara sempurna, Rama pun harus rela dipenjara bertahun-tahun demi mendekati dan menjalin persahabatan dengan Uco (Arifin Putra), anak laki-laki bos mafia terpandang, Bangun (Tio Pakusadewo). Melalui jaringan yang dibentuknya ini, Rama yang menyamarkan namanya menjadi Yudha pun terseret ke dalam dunia mafia yang dipenuhi intrik berselimut darah, keserakahan, dan pengkhianatan. Satu-satunya jalan (dan pilihan) yang dimiliki oleh Rama agar bisa meloloskan diri adalah menyelesaikan apa yang telah dimulainya. Tidak ada yang lain.

Dalam sebuah wawancara bersama majalah Total Film Indonesia, Gareth Evans mengungkapkan bahwa dirinya tidak ingin mengulang apa yang telah dilakukan di “The Raid” dalam “The Raid 2: Berandal”. Dan memang, dia menepati janjinya untuk tidak melakukan pengulangan di sini. Evans menyeret keluar Iko Uwais dari gedung bertingkat sarang para pemadat dan melemparkannya hidup-hidup ke dunia para mafia yang keji untuk melakukan pertarungan di sana. Pertarungan yang dihadapinya kini jauh lebih besar, sulit, dan berbahaya. Mengingat ini adalah sebuah sekuel, maka sudah barang tentu seluruh cakupan skalanya harus dinaikkan, bukan? Tidak hanya soal baku hantamnya saja yang menjadi semakin liar dan menggila, tetapi deretan tokoh yang menjadi lawan dari Rama pun kian banyak, dan … untuk sekali ini, Evans sangat memperhatikan naskah yang seolah diabaikan di film pertama!

Ya, Anda yang mendengus kesal lantaran “The Raid” terasa kering kerontang ditilik dari segi penceritaan, akan tersenyum bahagia karena si pembuat film tidak sekadar mengembangkan gelaran aksinya semata dalam “The Raid 2: Berandal”, tetapi juga skripnya. Tatkala sang pendahulu mengalir secara vertikal, linear, dan seolah hanya ditulis dengan “masuk, bak bik buk berantem hebat, keluar,” maka “The Raid 2: Berandal” dengan cakupan kisahnya yang luas ini mengalun dengan gaya sedikit non-linear dan tatanannya cenderung kompleks. Anda akan diperkenalkan kepada dunia mafia yang akan disinggahi sementara oleh Rama, para pemangku kepentingan di dunia ini, dan sederetan intrik yang melatarinya. Film pun tak lagi bergerak hanya di ranah action, namun turut menggandeng crime-thriller ke dalamnya.

Bagi Anda yang mengharapkan “The Raid 2: Berandal” akan menjelma selayaknya “The Raid” yang langsung tancap gas sedari awal tanpa pernah sedikit pun berkompromi dan memberi space bagi penonton untuk bernafas, maka harus sedikit bersabar. Evans menghabiskan setidaknya sebagian besar paruh utama dari film untuk berceloteh. Akan tetapi, Anda tidak perlu khawatir akan terjerumus ke jurang kebosanan karena sang sutradara yang juga merangkap sebagai penulis naskah ini mampu menjaga ritme film secara konstan dan kala mendekati akhir, menaikkannya sedikit demi sedikit. Alur cerita yang dirajutnya, walau terkadang terkesan kelewat berpanjang-panjang dan agak melantur, terasa menggigit dan mampu membentuk rasa penasaran. Ada keinginan untuk mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya. Mengetahui bahwa tak semua penonton akan menikmati film laga yang kelewat cerewet, maka di sela-sela percakapan yang terkesan aman-aman saja, beberapa adegan baku hantam berlanjut pertumpahan darah dengan intensitas sedang diselipkan. Sebagai pembuka adalah adegan perkelahian kolosal penuh lumuran lumpur yang berlangsung di penjara.

Dengan pembuka semacam itu, Anda tentu bisa mengharapkan sesuatu yang lebih besar akan menanti, bukan? Jika Anda berharap kekacauan yang ditebar oleh Evans di menit-menit berikutnya hanya akan sebesar runtuhnya shelter bus TransJakarta – bagian paling banyak dibicarakan dari trailer – maka bersiaplah untuk terpuaskan. Adegan-adegan laga dengan koreografi yang rumit, memukau, sekaligus indah dalam bentuk hantaman, pukulan, tendangan, hingga … errr, bacokan, masih menjadi hidangan utama. Yang baru dan tak Anda saksikan sebelumnya adalah pertarungan dahsyat berbalut car chase scene yang menerjang jalanan kota Jakarta yang padat. Hadiah bagi Anda yang bersabar di paruh awal adalah 30 menit terakhir yang sangat mendebarkan yang dirangkai dengan tangkapan kamera yang super dinamis, editing yang cekatan, serta alunan musik latar penuh semangat yang menghentak. Gelaran aksi berintensitas tinggi ini dijamin akan membuat Anda menganga, kesulitan untuk bernafas, dan ketika segalanya usai, bisa jadi Anda akan memberikan tepuk tangan yang meriah. Sangat keren.