21 Apr

Profil Sutradara: Andrey Pratama

Andrey Pratama

Andrey Pratama boleh berbangga. Betapa tidak, film animasi pendek garapannya, “Moriendo”, memperoleh banyak pujian. Tidak hanya mengukir prestasi di dalam negeri saja, “Moriendo” juga sudah melanglang buana ke berbagai negara. Kemenangan terbesarnya di Indonesia yang membuatnya dilirik oleh banyak pihak adalah saat film besutannya ini menyabet piala XXI Short Film Festival 2013 untuk kategori Film Animasi Pendek Pilihan Media.

Awalnya, film yang disarikan dari cerita pendek berjudul “Sebuah Pagi dan Seorang Lelaki Mati” karya Noviana Kusumawardhani ini sekadar ditujukan sebagai bagian dari tugas akhir yang menjadi syarat kelulusan dari jurusan Animasi di Universitas Bina Nusantara. Akan tetapi, nasib justru berkata lain.

“Saya sangat bangga karena sebelumnya jarang sekali karya orang Indonesia mendapat banyak apresiasi dari luar. Bahkan, beberapa pihak mendaftarkan film saya ke festival internasional,” tutur Andrey.

Andrey Pratama

Andrey Pratama

Apa yang begitu istimewa dari “Moriendo” hingga beroleh berbagai prestasi? Salah satunya, keberanian Andrey untuk mengambil resiko. Animator muda kelahiran Jakarta, 13 Desember 1990 ini enggan patuh pada aturan tak tertulis dunia film animasi yang menuntut agar guliran kisah yang diangkat dari budaya Indonesia senantiasa berkaitan dengan cerita rakyat atau fabel. Andrey ingin mendefinisikan ulang makna dari local content.

“Rata-rata orang yang ada di animasi, saat diminta buat bikin sesuatu yang local content, pasti yang terpikir adalah wayang, cerita rakyat, terlalu eksplisit secara visual dan denotasi. Bener-bener lokal. Padahal konten lokal nggak harus secara eksplisit lokal, tapi pengarangnya orang Indonesia pun bisa dibilang muatan lokal,” urainya.

Dari situ, dimulailah perjuangan Andrey untuk menggarap “Moriendo”. Sebelum tersaji sebagai sebuah film pendek dan dielu-elukan di berbagai festival, Andrey harus melalui empat bulan yang penuh dengan perjuangan. Dimulai dari memilih cerita, menentukan judul, menciptakan desain karakter, hingga menciptakan tampilan warna dan gaya.

Diakui oleh Andrey, tahapan tersulit saat mengerjakan “Moriendo” adalah memilih cerita. Kenapa Andrey tidak memilih untuk membuat cerita sendiri alih-alih mengadaptasi? “Karena saya ngerasa lack in story. Bikin cerita itu nggak gampang dan saya juga nggak pernah belajar. Lagian kenapa nggak gabungin saja saat ada orang yang punya bakat dalam storytelling dengan saya yang punya bakat visual. Apalagi cerita ini udah teruji–masuk ke Kompas–daripada saya maksain buat cerita sendiri yang nggak teruji dan nggak jelas jadinya bakal kayak apa,” beber pengagum Christopher Nolan ini.

Keputusan yang diambilnya tepat. “Moriendo” mendapat sorotan khusus di segi pengisahannya, di samping teknik animasinya. Pengakuan yang diterimanya dari animator-animator profesional dan festival film hanyalah bonus. Yang terpenting, berkat “Moriendo”, Andrey berhasil lulus dengan nilai membanggakan.

“Moriendo” membuka jalannya untuk menekuni karir sebagai animator. Hanya saja, yang menjadi kendala, dunia animasi di Indonesia masih belum mapan. Pekerja animasi belum sepenuhnya dihargai.

Lebih lanjut, Andrey juga mengemukakan bahwa sejatinya, ruang bisnis animasi di Indonesia terbilang cukup luas. Penggarapan iklan komersial–yang banyak diantaranya membutuhkan tenaga dari para animator–terus tumbuh berkembang. “Permasalahan yang terjadi di sini, para animator belum dihargai. Sedangkan di luar negeri, kami dicari,” keluhnya.

Sebagai solusi, untuk saat ini, pemilik hobi menggambar ini ingin hengkang sejenak ke luar negeri jika ada kesempatan. ’’Jadi, menurut saya, selulus kuliah ini saya perlu ke luar negeri dahulu untuk membuka wawasan. Walaupun sebenarnya saya ingin membangun industri animasi di sini dengan membuat  studio sendiri, tapi kondisi di Indonesia belum mendukung,” Andrey memberi alasan.

Ya, Andrey memang memiliki mimpi untuk memajukan industri animasi di Indonesia. Menurutnya, ada banyak talenta yang bisa ditemukan di bumi pertiwi ini. “Saya sih pengennya bisa bikin standar yang bagus buat industri. Karena jujur, pemetaan buat industri animasi di Indonesia itu nggak merata. Semuanya terpusat di Jakarta. Sebenernya banyak talenta di luar kota, cuma secara technical dan pengetahuan nggak dapet,” ulasnya.

Langkah awal yang ditempuh Andrey saat ini untuk menggapai mimpinya adalah dengan membangun karir. Caranya, menemukan klien yang memiliki kepercayaan terhadap karya-karya buatannya. “Prinsip hidup saya, ‘Hidup untuk berkarya dan berkarya untuk hidup.’ Jadi saya hidup untuk membuat karya, dan karya ini bisa bikin saya hidup,” ucapnya.

Untuk mengasah keterampilannya, Andrey mencanangkan program yang harus diwujudkan oleh dirinya sendiri dalam lima tahun ke depan, yakni memperbanyak karya. Baginya, lebih baik memiliki setumpuk karya walau banyak ditemui trial and error ketimbang hanya memiliki satu karya tapi tidak kunjung selesai lantaran mengejar kesempurnaan. “Karena nggak akan ada habisnya kalau ingin segala sesuatunya tersaji sempurna,” imbuhnya.

Di sela-sela kesibukannya, Andrey pun masih memiliki impian untuk melahirkan film kedua. Dunia film memang telah mencuri hatinya. Seperti apakah proyek film yang ingin dihadirkan Andrey selanjutnya? Untuk ini, Andrey sedikit memberikan gambaran.

“Dari sisi style, bakalan berubah. Untuk visual, saya bakalan coba untuk bikin yang orang jarang lihat lah. Kalau buat cerita, secara pribadi, bakalan tetap dalam dan spiritual. Yang ingin saya ceritain saat ini adalah sesuatu yang simple tapi nggak simple. Saya tidak ingin film kedua ini lebih dikit yang suka daripada “Moriendo”,” pungkasnya seraya sedikit berharap.

Ingin menonton film “Moriendo” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.