15 Oct

Kokas, Islam Nusantara, dan Pahlawan dalam Diam

Bukan Kokas (Kota Kasablanka (Kampung Melayu sampai belakang Karet)) yang menjadi bahan kajian dalam dokumenter berjudul Nafas Perjuangan di Kokas keluaran Laguna TV ini. Jangan membayangkan pula Kokas yang satu ini berada di tengah ibukota dan dijejali para shopaholic terjebak zaman. Karena Kokas dalam tayangan ini sangat kontras dengan Kokas yang mungkin pernah pula Anda kunjungi di akhir pekan tersebut. Ya, sebab kita sedang membahas Kokas yang berada di Indonesia Timur, tepatnya di Fakfak, Papua Barat. Sebuah daerah yang secara geografis dianggap strategis dengan sumber daya alam yang melimpah sehingga menjadi rebutan Jepang dan Amerika Serikat pada masa Perang Dunia II.

Kedatangan Jepang di Kokas pada tahun 1942 semakin menambah kesengsaraan hidup warga di distrik tersebut. Bagaimana tidak? Pendatang yang gaduh dan menjajah nusantara selama 3,5 tahun itu memaksa sang tuan rumah membangun pangkalan militer yang dilengkapi dengan gua-gua pertahanan yang diperuntukan sebagai basis pertahanan mereka dalam melawan sekutu. Pernyataan mengejutkan datang dari Yani Birauma, salah satu saksi hidup yang menyaksikan langsung kebengisan tentara Jepang saat menduduki Kokas 70 tahun silam.

Ibarat warga Lumajang yang bergidik saat Tim 12 menghabisi nyawa Salim Kancil, warga Kokas pun saat itu tak berdaya menghadapi tentara Jepang yang pastinya bukan dipersenjatai dengan bambu runcing. Lepas dari mulut buaya masuk ke mulut macan, mungkin itulah kiasan yang tepat untuk menggambarkan kondisi warga Kokas ketika tanahnya kembali diakuisisi Belanda dan Sekutu pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Jika (Alm.) Salim Kancil menentang privatisasi tambang pasir, ketidaknyamanan hidup di teritori sendiri yang dirasakan warga Kokas, membuat Mahmud Rumagesan harus membangkang terhadap Belanda. Seorang raja dari ketuanan Pikpik Sekar, simbol perlawanan warga Kokas kepada penjajahan yang dibuang ke Boven Digoel. Saleh Rumagesan, seorang Wernemen (Wakil Kepala Kampung) yang bakal membahas lebih dalam menyoal pergerakan Mahmud Rumagesan kala itu.

Pada perjalanannya, Kokas pun sedikit banyak dipengaruhi oleh Kesultanan Tidore yang notabene merupakan kerajaan islam. Namun saat masa-masa kolonialisme, nilai-nilai Islam sangat dibatasi. Bagaimana menjadi minoritas dan hidup dalam kekangan? Bahkan ketika menjalani perintah agama sekalipun. Seorang pelaku sejarah bernama Tarawi Rumaniga yang akan menggambarkannya untuk Anda.

Tarawi harus menahan air mata ketika pembahasan mulai bergeser pada perjuangan yang pula dilakukan istri tercintanya. Istrinya gugur di medan pertempuran. Sedangkan ia harus merasakan siksaan dan dinginnya tembok penjara saat diasingkan Belanda ke Boven Digoel. Kini, waktunya Tarawi menikmati hari tua bersama keluarga dan istri keduanya setelah keringat, air mata, dan usaha-usaha tak kenal lelahnya yang lain dalam mengusir penjajah dari bumi Papua.

Dokumenter ini juga merefleksikan bagaimana Islam yang melebur bersama budaya setempat. Cerminan tersebut terlihat ketika fragmen upacara penyambutan kubah masjid yang melintasi Kokas menuju Kinam. Diiringi tetabuhan rebana, tarian, salawat, dan doa-doa, kubah masjid yang mereka anggap sebagai ‘tamu agung’ diarak mengelilingi kampung. Antusiasme warga sangat terlihat dalam prosesi tersebut. Tidak lupa Warga Kokas melangsungkan apa yang mereka namakan ‘ziarah kubah’. Keesokan harinya, Warga Kokas kembali berbondong-bondong melepas kubah tersebut dengan terus melantunan Asma Allah, hingga ‘tamu agung’ itu pun disambut kumandang azan oleh muazin Kampung Kinam.

Hmm…melihat segala aktivitas keislaman di Kokas khususnya dan Papua Barat umumnya, menjadi agak ganjil rasanya jika nantinya ada di antara mereka yang masygul dengan semangat Islam Nusantara.