22 Sep

Ulasan Film: “Sale”

Bukan, bukan. “Sale” bukanlah film dokumenter yang bertutur soal proses pembuatan makanan tradisional bernama sale pisang – kenikmatannya tiada tara – berbahan dasar buah pisang yang disisir tipis-tipis lalu dijemur. Walau ada sedikit pengharapan dari penulis bahwa film akan mengambil kupasan tersebut, tentunya ini mustahil terwujud, terlebih deretan materi promosinya sama sekali tidak mengindikasikan film akan memiliki keterkaitan erat dengan pisang. Tentu, “Sale” yang dimaksud oleh Kevin Anderson, sang sutradara, tak ada relasinya dengan makanan tersebut. Sama sekali tidak ada. “Sale” cenderung merujuk kepada kegiatan jual-beli, utamanya di bidang properti (apartemen). Terdengar seperti sebuah film pendek yang serius dan, errr … berat?

Serius, iya. Berat, tidak. Kenyataannya, selain “Sale” ini tidak menjajaki genre food movie – seperti dikira oleh orang-orang yang kelaparan – film juga menjauhi peliknya dunia bisnis sebagai bahan kupasan utama. Apa yang dicelotehkan oleh “Sale” jauh lebih sederhana dari itu. Ini adalah sebuah film pendek crowd pleaser yang tujuan utamanya sedari awal hanyalah memberikan hiburan bagi penonton alih-alih mengincar festival film ini-itu. Kevin Anderson tidak menuntut penonton mendayagunakan otak secara maksimal demi mencari pemecahan atas sederetan metafora-metafora membingungkan, perenungan mendalam, simbol-simbol ambigu penuh penafsiran, maupun ceceran teka-teki yang perlu disusun secara utuh untuk memperoleh jawaban sebenarnya di dalam film arahannya ini. Yang ingin disampaikannya, sederhana saja. Penonton pun cukup duduk, raih popcorn sebagai camilan menonton – atau jika ada, sale pisang – dan menikmati saja apa yang disuguhkan oleh si pembuat film.

Pada dasarnya, “Sale” beranjak dari pepatah lawas dari seorang bijak, “Don’t judge a book by its cover.” Tidak selamanya apa yang terlihat begitu indah memukau di kulit luarnya juga memiliki kualitas senada di isian terdalam. Bisa jadi, isinya malah menyimpan kebusukan. Perkara ini bisa pula diaplikasikan untuk bidang properti. Pernahkah Anda menjumpai sebuah rumah, kos, atau apartemen yang secara fisik tampak megah, mewah, bagus terawat tapi tak kunjung laku di pasaran? Pernahkah Anda bertanya-tanya, apa sebetulnya cerita di balik hunian tersebut sehingga tidak diminati banyak calon pembeli? Alasannya bisa jadi beragam, tetapi kerap kali pemikiran yang muncul di permukaan dilatari persoalan mistis … atau kurang lebih, mendekati. Sekalipun kebenarannya belum juga dipastikan, kebanyakan orang akan lantas memilih mundur teratur, melepasnya begitu saja, setelah kabar seram ini dihembuskan pada properti yang diincarnya.

“Sale” membagi pengisahannya pada dua linimasa berbeda. Tidak diberi penjelasan memadai mengenai latarnya, sengaja dibiarkan kabur untuk memancing rasa penasaran penonton. Dalam kisah pertama, kita diperkenalkan pada Radit (Ade Prasetyo), seorang mahasiswa dari keluarga berada yang bisa berlaku apapun sesuai kehendaknya. Salah satu kegemarannya adalah bergonta-ganti pasangan, membawa perempuan ke apartemennya hanya untuk dicumbu. Setelah itu, dicampakkan tanpa kejelasan. Baginya, hubungan percintaan tidak lebih dari “one night stand” belaka. Kehidupannya mendadak carut-marut saat seorang perempuan, Karly (Vinnia Kuntadi), mendadak datang melabraknya, meminta pertanggungjawaban atas janin yang tengah dikandungnya. Belum juga problematika memusingkan ini terurai, penonton dilempar ke bagian cerita lain yang menampilkan dua pria. Berdasarkan obrolan, bisa ditebak bahwa hubungan keduanya adalah calon pembeli dan pihak marketing. Ngalor ngidul kesana kemari, kita dibuat bertanya-tanya soal relevansi cerita ini dengan fokus (sepertinya) utama yang menampilkan Radit dan Karly.

Ketika “Sale” memulai titik penceritaannya, mudah bagi penonton untuk menganggap bahwa ini adalah drama selangkangan biasa – dalam artian, konflik utamanya berkutat masalah hamil di luar nikah atau semacamnya yang dipantik oleh “kecelakaan” di area tersebut. Si cowok begitu menikmati hidup, sesuka hati bergonta ganti pasangan, sementara si cewek kesal tiada tara dipermainkan hatinya. Ketika satu perempuan pergi meninggalkannya dengan kekecewaan, datang perempuan lain yang amarahnya membuncah. Berpatokan pada sinopsis, penulis pun menduga film ini sebatas drama tiga babak tentang seorang perempuan yang melayangkan tuntutan tanggung jawab pada lelaki yang telah membuatnya bunting. Lelaki mengelak, perempuan marah besar. Drama, drama, drama. Lalu, tatkala penonton telah berada di situasi “telah mengetahui segalanya” – bisa menerka kemana si pembuat film akan membawa lajur pengisahan – sebuah kelokan menanti. “Sale” ternyata tidak mengalir lurus.

Hal ini ditandai oleh keberadaan cerita kedua yang mulanya terkesan acak dan tidak ditemui korelasinya. Penulis menduga, jangan-jangan dua tokoh di cabang cerita ini adalah kawan dekat Radit yang siap memperkeruh situasi? Dugaan tersebut lantas dimentahkan oleh Kevin Anderson ketika dialog demi dialog yang mereka lontarkan cenderung mengarah ke posisi lain. Menimbulkan rasa penasaran yang awalnya sulit hadir di menit-menit awal tatkala “Sale” masih dikira sebagai film tentang “kamu menghamili aku, Mas!” Meskipun jawaban atas segala misteri yang tiba-tiba membendung saat film memasuki pertengahan durasi bukan juga sesuatu yang menyegarkan, tetapi upaya si pembuat film menciptakan rasa penasaran serta menggiring tatanan penceritaan yang bersifat mengecoh penonton untuk menghadirkan kejutan di belakang layak diberi apresiasi. Cukup menarik.

Ingin menonton film “Sale” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.