12 Jun

Hidup Tanpa Sekat ala Kampung Kinam

Siapa yang tak mau hidup dalam keharmonisan? Mungkin mereka-mereka yang tidak tenang sukmanya atau hobi kelahi saja yang ingin terus-terusan berada dalam kecemasan dan kebisingan. Jika di Jakarta bersanding Istiqlal dan Katedral yang merupakan simbol ke-Indonesia-an, di Kampung Kinam, Papua Barat, pun dapat kita temukan Masjid Al-Yasin dan Gereja Kampung Kinam yang nyaman berdampingan. Sebuah potret hidup bertoleransi yang ternyata bukan sesuatu yang njelimet.

Harmoni Di Balik Tradisi Satu Tungku Tiga Batu judul film ini. Tiga kata di akhir “Satu Tungku Tiga Batu” menjadi sebuah metafor untuk menyebut “Islam-Kristen yang saling menghormati dan menjunjung tinggi kebersamaan” dan mungkin pula untuk menegaskan “Hey, lihat! Kampung kami ini rupa Indonesia yang seharusnya.”

Apa yang membuat Kampung Kinam menjadi “tak biasa”? Menarik mencermati suguhan film yang coba menggambarkan keseharian warga jelang peresmian Masjid Al-Yasin dan Gereja Kampung Kinam. Sepuluh tahun lebih lamanya mereka bahu-membahu membangun dua rumah ibadah tersebut. Di saat wilayah lain dilanda isu SARA berkepanjangan, sejak 1978 Kampung ini berdiri, tak pernah tuh ada ribut-ribut, aman-aman saja. Bisa kok mereka mendirikan Masjid tanpa memejeng jala di tengah jalan atau memajang proposal di depan mata kita. Mereka pun tidak bawel ke SBY cs. (karena film ini dirilis 2008) yang entah kala itu masih menganggap Papua sebagai wilayah kedaulatan mereka atau tidak. Tidak salah memang jika sempat berhembus wacana untuk dibentuknya Kementrian Khusus Papua.

Dalam film dokumenter ini, detail ditayangkan ketika Muslim Kampung Kinam tengah menunaikan apa yang mereka namakan “Ziarah Kubah”. Seperti apa tata cara tradisi tersebut? Sebuah ritual adat wujud akulturasi Islam dengan budaya setempat yang mungkin saja membesitkan Anda pada kontroversi Al-Quran yang dibaca dengan langgam Jawa. Ritual unik yang mungkin juga belum pernah Anda lihat di daerah minoritas Islam lain.

PosterSampai lah pada hari peresmian. Muslimin, Muslimah, dan Nasrani berbaur dengan terus melebarkan senyum. Bagaimana tidak? Jerih payah mereka selama sepuluh tahun lebih direstui Tuhan. Masjid Al-Yasin dan Gereja Kampung Kinam sah bertetangga. Sekali lagi Kampung Kinam menepuk bahu kita bahwa keselarasan bisa dimulai dari skup terkecil kehidupan bermasyarakat.

Seni rebana, suara adzan, dan nyanyian gerejawi, diberi porsi masing-masing dalam dokumenter keluaran Laguna TV ini. Terdengar epik dan indah. Ditambah suara renyah sang narator, menjadikan film ini semakin nyaman di hati dan telinga.

Ya, menjelang Ramadan kedewasaan beragama kita kembali diuji. Kampung Kinam tampaknya harus menjadi contoh daerah lain yang kembali dengan perkara tahunan macam “tempat makan yang tetap buka atau harus tutup di siang hari selama puasa”. Film-film seperti ini pula yang idealnya diberi panggung oleh media-media di Indonesia. Pesan moral yang tersirat terasa penting untuk membentuk pola pikir masyarakat kita yang kian hari kian cingkrang saja. Jika batin Anda dirasa kaku dan perlu sedikit pelenturan, kami sarankan menyimak film ini dengan mengklik https://kineria.com/Harmoni-di-Balik-Tradisi-Satu-Tungku-Tiga-Batu.

P.S:
Mengutip pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, tentang kebebasan beragama, “Konstitusi tegas mengatakan setiap warga negara dijamin haknya, dua hal yang dijamin oleh konstitusi, pertama yaitu kebebasan kemerdekaan dalam memeluk agama, yang kedua adalah kebebasan kemerdekaan setiap penduduk untuk menjalankan agama sesuai dengan agama yang dipeluknya.” Memang kebebasan beragama yang dimaksud bukan yang kebablasan, bukan yang meminta izin kepada Ahok, Jokowi, hingga NASA untuk pendaratan UFO berisi Malaikat Jibril di Monas. Etapi…siapa tahu benar.