08 Jun

Elegi Keroncong Tugu

Menyambut ulang tahun Jakarta yang entah sudah memasuki tahun ke-empat ratus delapan puluh berapa—488 ternyata setelah barusan saya menggugling—, kurang afdol rasanya jika tren topik pembahasan kita melulu berkutat soal macet, begal, JKT48, Ahok atau Haji Lulung sekalipun. Tenangkan pikiran sejenak, kalem, manjakan telinga Anda selama seperempat jam ke depan dengan menikmati alunan musik keroncong ala film Musica de Tugu.

Selama ini kita, hmm…maksud saya, Anda (mungkin) tahu, keroncong yang kita kenal sekarang tak lepas dari pengaruh musik asli Portugis yang bernama Fado, para pelaut dan budak dari kapal-kapal dagang di abad 16 yang memperkenalkannya. Musik ini pula yang terus terdengar dari India, Malaka, hingga akhirnya sampai ke Toegoe (salah satu prefektur di Jakarta Utara). Keroncong pun pada mulanya hanya kental dengan irama alat musik gesek. Akulturasi budaya yang membuat sentuhan flute dan gamelan kini terasa dalam musik yang identik dengan “Bengawan Solo”-nya Gesang tersebut. Ya, dokumenter karya Syaeful Anwar ini coba menawarkan sebuah warisan sejarah dalam hal seni bermusik.

Secuplik potret Jakarta tempo doeloe menjadi menu pembuka film yang juga menampilkan dua orang narasumber, Guido Quiko dan Andre Juan Michiels. Siapa mereka? Bila Anda penggila musik keroncong mungkin saja pendengaran Anda tak asing dengan fam Quiko yang menyertai nama Guido. Guido Quiko merupakan generasi keempat trah Quiko dan kini ia yang tercatat sebagai pimpinan grup keroncong Cafrinho, sebuah grup Keroncong Tugu yang berdiri sejak 1925 yang kala itu dikenal dengan nama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe – Anno 1661.

Andre Juan Michiels sendiri adalah anak dari penggesek cello Orkes Poesaka Moresco, Arend Julinse Michiels. Sayangnya, pada 1988, Arend memilih berpisah dari Orkes Poesaka Moresco dengan membentuk grup keroncong Krontjong Toegoe. Sejak saat itu pula lah Andre belia mulai mewarisi jejak sang ayah dan meneruskannya hingga sekarang.

Meski sama-sama mengusung genre keroncong dan hidup di Tugu, grup keroncong Cafrinho arahan Guido dan Krontjong Toegoe bimbingan Andre nyatanya tak satu mazhab dalam hal berkeroncong. Riak-riak ketidakcocokan mereka memuncak pada 2006. Guido dan Cafrinho-nya lebih memilih untuk mempertahankan keaslian identitas musik keroncong. Jika Anda pernah mendengar buaian akustik sebuah grup musik yang para personilnya dibalut celana batik, baju koko, lengkap dengan baret dan syal, kemungkinan besar Anda baru saja berdendang bersama grup keroncong Cafrinho. Mengapa bukan grup keroncong Krontjong Toegoe? Nah, jika Cafrinho tetap dengan pakem asli musik keroncong, Andre dan Krontjong Toegoe-nya masih mau bernegosiasi dengan zaman. Musik keroncong mereka terdengar lebih cair untuk era kekinian dengan sentuhan instrumen “yang bisa dicolok”.

Musica de Tugu memang menawarkan kepada penontonnya bagaimana menjadi idealis dan realistis yang saling enjoy dengan pilihannya masing-masing. Dengan sudut pandang dari masing-masing pihak, film dokumenter ini bukan pula menjadi sebuah media klaim sepihak. Keduanya diberikan porsi yang sama dalam menjawab, dari sejarah terbentuk hingga teknik mereka menggaruk ukulele. Media mainstream kita tampaknya juga harus belajar untuk itu.

Sang sutradara, Syaeful Anwar, pun memilih tanpa narasi dalam karyanya kali ini. Ia hanya melempar pertanyaan yang memang sukses memancing kedua narasumber untuk mengeluarkan “unek-unek” mereka sepanjang film. Penggalan gambar Guido dan Andre saat keduanya masih sealiran juga disisipkan Syaeful dalam menu penutup yang terasa menyentil. Tidak ada yang salah atau benar pada akhirnya, kesimpulan resmi diserahkan ke tangan penonton. Oi penontoon…