16 Jun

Syaeful Anwar, Lawan Lupa Keroncong Tugu

Tinggalkan dulu histeria tak wajar K-Pop, Sister Band, dan segala macam musik impor lainnya. Mari sejenak menolak lupa pada warisan moyang dengan menikmati melodi yang lain. Tak perlu jauh-jauh ke FX Senayan, karena yang akan Anda dengarkan sebentar lagi adalah melodi Keroncong Tugu dalam Musica de Tugu. Ya, sebuah film arahan Syaeful Anwar.

Kineria pun berkesempatan berbincang dengan sutradara kelahiran Bekasi, 26 tahun silam tersebut. Melalui surel, pria yang karib disapa Obek itu menceritakan ketertarikannya mengemas Keroncong Tugu dan segala riwayatnya dalam genre dokumenter.

“Kenapa saya mengangkat topik ini? Hmm…mungkin alasan paling tepat karena saya dan orang lain suka musik. Kebetulan di Keroncong Tugu bukan hanya musik yang bisa kita dapatkan. Setelah kita beberapa kali riset waktu itu, di situ ada sejarah, nilai-nilai kekeluargaan, persahabatan, dan kebersamaan,” Syaeful menjawab pertanyaan pembuka kami.

Riset yang dilakukan Syaeful Anwar dan semua yang terlibat dalam film tersebut pun membuahkan hasil yang tak main-main. Dokumenter dengan dua narasumber ini sukses menjadi tontonan yang mencontohkan apa yang disebut cover both side.

“Jadi bahan pertanyaannya itu timbul setelah kita riset. Kita coba mendalami apa masalah yang terjadi di Keroncong Tugu. Nah, ketika kami memulai interviu dengan narsum, kami sudah punya apa yang jadi bahan pertanyaan,” ucap Syaeful, menjelaskan.

Kelar pembuatan Musica de Tugu (2013) dan lulus kuliah, Syaeful mengakui dirinya hampir tidak pernah mengikuti kembali apa yang terjadi kemudian dengan Keroncong Tugu. Namun, ia sedikit memberi catatan tentang Keroncong Tugu dan filmnya tersebut.

“Tapi setahu saya, dengan apa yang sudah saya dan teman-teman buat, setidaknya orang jadi banyak tau apa itu Keroncong Tugu. Bahkan saya sendiri pun sebelumnya gak pernah tau bahwa di Jakarta lah tempat di mana pertama kali dikenalkan musik keroncong yang dibawa oleh Bangsa Portugis,” jelasnya lagi.

Ditanya kejadian menarik selama proses syuting, Syaeful dengan senang hati menceritakan pengalamannya dari digonggongi anjing milik narasumber hingga syuting di lokasi yang terasa cukup untuk bikin jantung Anda sedikit dredeg.

“Kejadian menarik? Hahahahaha…kebetulan kediaman narsum pelihara anjing, kita gak tau kalo di situ ada anjing, sontak kami semua kaget dan lari terbirit-birit ketika anjing itu mengonggong dan coba mengejar kami,” tutur Syaeful.

“Kebetulan juga lokasi kediaman narsum terletak persis dekat Pelabuhan Tanjung Priok yang udah kayak pangkalan truk peti kemas dan tronton. Karena kami saat itu menggunakan sepeda motor, terasa sekali perbedaannya ketika kita berada di samping roda mobil-mobil besar itu. Ada sedikit kengerian. Tapi Alhamdulillah semua lancar,” lanjutnya.

Menarik pula jika kita menilik isi film yang mengisahkan Keroncong Tugu dalam dua varian. Melalui Guido Quiko dan Andre Juan Michiels, penonton diberi gambaran bagaimana lika-liku musik tersebut dari masa ke masa. Tidak melulu mulus memang.

“Walaupun mereka berbeda pendapat dan berbeda prinsip, tetapi mereka tetap satu. Satu tujuan menghidupi dan melestarikan Keroncong Tugu. Sebenarnya sampe kami melakukan proses syuting pun mereka masih suka bareng dalam acara tahunan Kampung Tugu. Mereka pun gak jarang tuker-tukeran personil,” beber Syaeful.

Mungkin pula hal di atas yang menjadi pesan moral film ini, di mana perbedaan bukan sesuatu yang lantas membuat kita saling bertukar umpatan. Tak salah juga jika film ini diputar di Festival Film Malang dan menjadi finalis untuk kategori dokumenter dalam XXI Short Film Festival 2013.