19 Nov

Ulasan Film “Mulih”

Bagi kebanyakan perantau, mulih – dalam Bahasa Indonesia memiliki arti pulang ke rumah atau kampung halaman – adalah salah satu momen yang dinanti-nantikan kehadirannya. Aktifitas ‘mulih’ paling ramai di Indonesia dapat dijumpai beberapa hari sebelum Hari Kemenangan bagi umat Muslim dirayakan, atau lebih dikenal dengan istilah mudik. Berbondong-bondong jutaan manusia yang mayoritas disesaki penghuni ibukota menyerbu beragam penjuru untuk bersilaturahmi dan melepas rindu bersama sanak saudara. Kelelahan yang menghiasi hari-hari kala mencari nafkah lantas tercairkan. Energi yang sebelumnya nyaris terkuras habis, terisi ulang. Memberikan semangat baru untuk menyongsong hari dengan senyum kembali terkembang di wajah. Menyenangkan… untuk sebagian orang. Karena mulih yang bisa saja diasosiasikan selalu dengan mudik tidak senantiasa memberikan kabar gembira bagi pelaku dan keluarga. Tidak sedikit berita mengiris hati menghiasi surat kabar di saat kebahagiaan seharusnya menghinggapi diri. Tapi tak sedikit pula tragedi menyakitkan yang tak pernah tersiarkan beritanya, hanya mengendap di ingatan masing-masing.

Ada beragam cerita yang bisa didapat dalam perjalanan pulang ke rumah, entah itu bersifat penuh kegembiraan, melelahkan, menjemukan, atau malah dipenuhi tragedi. Terkadang, alasan yang menyertai panggilan balik kampung seseorang pun tidak mesti bernada positif, ada kalanya sesuatu yang menyesakkan hingga berharap nihilnya deringan telepon atau layangan surat yang membawa berita duka. Acapkali dijumpai adalah keluarga terdekat menghembuskan nafas terakhir atau menderita sakit keras yang bisa saja hanya dalam hitungan hari akan menghadap Sang Khalik. Berkumpul bersama dalam suasana duka, menghantarkan doa seraya meringankan beban kesedihan masing-masing. Memilukan memang, akan tetapi, akan terasa lebih memilukan pada saat perjalanan mulih tersebut turut disertai tragedi yang tak disangka-sangka. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, Itulah yang terjadi dalam film arahan Fajar Martha Santosa, ‘Mulih’.

Berdurasi sangat pendek, sekitar 5 menit, ‘Mulih’ menghadirkan tokoh (nyaris) tunggal yang menghiasi film. Yakni Lasi (Theresia Wulandari), seorang pembantu rumah tangga, yang pada suatu sore mendapatkan telepon dari sang kakak memberikan kabar perihal kondisi terbaru sang ibu yang sakit-sakitan dan mengharapkan Lasi datang menjenguk. Percakapan antara Lasi dengan kakaknya lewat telepon genggam ini dipertontonkan oleh si pembuat film dengan satu arah. Hanya suara terdengar dari ujung telepon sementara Lasi memberikan tanggapan seraya berbenah-benah meletakkan pakaian yang sekiranya dibutuhkan ke dalam tas jinjing. Percakapan via telepon genggam yang mendominasi lebih dari separuh durasi film ini lantas berakhir, berganti panggilan lain dari majikan Lasi yang meminta bantuan. Adegan pun beraganti, dibawah redupnya penerangan pada malam hari, Lasi menyusuri jalanan kota. Sesaat kemudian seorang pria menyergapnya, menggiringnya ke lorong gelap kosong, dan melepaskan hasrat bejatnya.

Lara Lasi tak terhenti sampai di situ. Lasi masih berusaha menata jiwanya yang terguncang, ditinggal pergi begitu saja oleh kereta api yang hendak ditumpanginya membawa beragam pertanyaan pada benak penonton, “apakah Lasi akhirnya bisa mulih?” atau “apakah Lasi akhirnya membatalkan rencana kepulangannya?”.

Apa yang diutarakan oleh si pembuat film dalam ‘Mulih’ ini potret nyata yang banyak dijumpai di lingkungan sekitar namun kerap kali ditutup-tutupi kebenarannya dengan beribu-ribu alasan mendasari. Sebuah film yang sederhana, jujur, tetapi juga pahit.