13 Nov

Kamerad Edmond, Bikin Film demi Musik

Ya, Kamerad Edmond, silakan terkejut membaca atau mendengar filmmaker bernama asli Edmond Waworuntu ini memiliki nama alias yang kekirian. Lahir di Manado 40 tahun silam, Edmond—sapaan karibnya—terjun ke dunia per-dokumenter-an setelah merampungi pendidikan seni grafis di kampus yang dikenal sebagai “petelur” makhluk-makhluk mumpuni dalam bidang seni-kreatif, Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Hingga ia akhirnya mulai aktif berpameran seni rupa pada rentang 1996-2003.

Animasi, komik, film fiksi pun dokumenter sebenarnya sempat pula ia cicipi, namun hatinya tertambat pada genre yang disebut terakhir. Edmond kini memilih menekuni genre dokumenter yang cukup segmented di Indonesia, dokumenter musik. Ketekunannya menggarap genre tersebut terlihat ketika ia bertandem dengan kameradnya, Abdul Haris Kartasumitra, dalam The Anarcho Brothers. Duo yang dibentuknya guna menghimpun footage-footage dari berbagai peristiwa musik underground, baik event yang bertaraf lokal, nasional, maupun internasional.

Pekan lalu, Kineria berkesempatan berbincang dengan Edmond menyoal dunia yang kini digelutinya—dokumenter musik—yang menurutnya lebih memiliki daya jual dibanding isu sosial-politik, bocoran project terbarunya hingga ulasan di balik layar ‘Kemarin, Hari ini dan Selamanya ROCK TOGETHER’, salah satu karyanya yang dapat Anda simak di sini.

“Atas pertimbangan distribusi kami sepakat mengubah judul ‘Who The Fuck is Superglad’ menjadi ‘Kemarin, Hari ini dan Selamanya ROCK TOGETHER’”, ucap Edmond, membuka tanya-jawab.

Mengenal dekat Superglad selama kurang lebih lima tahun, ia pun yakin untuk membuat sebuah dokumenter tentang mereka. “Karena pada saat itu Superglad adalah band yang paling dekat dengan saya, hubungannya adalah pertemanan. Saya pikir akan lebih mudah membuat sebuah dokumenter dari sesuatu yang kita kenal. Di samping itu, jalan karir dan kehidupan band ini sangat menarik”, kata salah satu penggede Bogalakon Pictures, rumah produksi dengan produk dokumenter dan film-film gaya baru itu.

Edmond juga menambahkan jika Superglad sebenarnya seperti band kebanyakan yang hanya mencoba bertahan di industri musik, namun yang membuat mereka istimewa adalah sistem kekeluargaan yang terjalin di antara mereka. Mulai dari sesama personil, kru, hingga fans.

Memakan waktu produksi selama dua tahun dan mengikuti beberapa tour Superglad, Edmond resmi merilis film ini pada 2012 lalu. Saat ditanya kendala apa aja yang ia temui selama proses syuting film berdurasi 93 menit tersebut, sang sutradara mengatakan selalu menganggap kendala adalah sebuah tantangan.

“Saya selalu menganggap kendala adalah tantangan, seperti konten dokumenter ini yang mengandung adegan-adegan yang berhubungan dengan minuman keras, cabul, dan beberapa joke sensitif yang memungkinkan akan dipotong pada proses sensor. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak mendaftarkan dokumenter ini ke LSF (Lembaga Sensor Film) yang berdampak pada tidak bisa diputarnya film ini di jaringan bioskop dan gerai resmi dvd,” tutur Edmond.

Walaupun dokumenter ini termasuk film non-bioskop dan mengaku tidak memprioritaskan festival film, toh nyatanya film ini dinobatkan dalam daftar 10 Dokumenter Musik Indonesia Terbaik versi Rolling Stone Indonesia.

“Saya sendiri termasuk pembuat dokumenter yang tidak memprioritaskan festival. Namun produser (Mega Setiawati dan Andibachtiar Yusuf) pernah mendaftarkannya di Festival Film Dokumenter Jogja (FFDJ) 2012. Dokumenter ini juga menjadi nominasi Dokumenter Panjang di Festival Film Indonesia (FFI) 2013. Intinya adalah dokumenter ini tidak berhenti di festival-festival dan roadshow, tapi laku dalam penjualan DVD, dan ditonton penikmat musik. Terus terang walau bentuk produknya adalah film, saya lebih merasa melakukannya bagi dunia musik,” beber lelaki yang juga meninjau musik ekstrem Indonesia dari sisi sosial, budaya, politik, bahkan agama tersebut.

Memantapkan dirinya di dokumenter musik sejak 2012, sampai tahun ini terhitung empat rilisan dokumenter musik telah Edmond sutradarai.

“Tahun 2015 ini saya merilis Pamurba Yatmaka Cakra Bhirawa, sebuah dokumenter eksperimental tentang band black metal. Ya, dokumenter musik memang saya anggap lebih mempunyai daya jual dibanding isu sosial-politik,” ujar Edmond.

Menutup obrolan, kami pun penasaran dokumenter musik seperti apa yang sedang ia persiapkan.

Project selanjutnya masih sekitar musik underground tentang scene Javanese Metal, sebuah gerakan musik metal yang membawa konten budaya lokal ke dalamnya. Project ini sudah berjalan 70% selama empat tahun dan kami masih mencari dana untuk penyelesaiannya. Di samping itu kami masih menyusun detail kreatif sebuah video black metal yang berhubungan dengan tarian tradisional, ritual mistis, mantra, dan sejarah Nusantara di masa lalu,” ungkap Edmond

Hmm…kalimat penutup yang lumayan membuat bergidik sekaligus mengikis kesabaran calon penontonnya, Kamerad.

Filmografi Edmond Waworuntu:
– The Conductors (Dokumenter, 2009) – Desain Produksi
– Romeo Juliet (Fiksi, 2009) – Desain Produksi
– Hope (Dokumenter, 2010) – Desain Produksi
– Hari Ini Pasti Menang (Fiksi, 2012) – Produser Musik
– Superglad Rock Together (Dokumenter, 2012) – Sutradara
– Rock In Solo 2011 (Dokumenter, 2012) – Sutradara
– Rock In Solo 2012 “The Return” (Dokumenter, 2013) – Sutradara
– Pamurba Yatmaka (Eksperimental, 2015) – Sutradara
– The Legacy – Javanese Metal (Dokumenter, post) – Sutradara