02 Oct

Prosa Para Pemadat Persija

“Some people believe football is a matter of life and death, I am very disappointed with that attitude. I can assure you it is much, much more important than that.”

Kurang sahih rasanya jika tak menyertai kutipan terkenal legenda Liverpool William ‘Bill’ Shankly di atas tatkala kita menyinggung kemesraan supporter dan klub gacoannya. Nukilan yang terdengar mainstream sih, tapi bukankah di era sekarang ‘hipster is the new mainstream’?

Pernyataan tersebut terlontar saat Shankly terkagum-kagum menyaksikan kekerabatan supporter Liverpool FC dan Everton FC menjelang klub kesayangan masing-masing bersua. Menjadi sebuah pemandangan yang langka memang jika mengingat fakta lapangan kedua klub yang adalah musuh bebuyutan alias rival sekota atau karib dengan sebutan Derby Merseyside.

Nah, jika kita runut ke film dokumenter yang bakal Anda simak sebentar lagi, karya sutradara paruh baya Andibachtiar Yusuf berjudul The Jak ini sekilas menyajikan antitesanya. Sebuah film dokumenter panjang pertama yang mengangkat kisah supporter sepak bola di negeri ini. Ya, anggota The Jakmania (sebutan untuk suppoter Persija) mana yang tak bangga saat keunikan fanatisme terhadap klub kesayangan mereka diangkat ke layar lebar? Apalagi oleh sutradara yang perawakannya juga kerap kita jumpai lewat layar kaca sebagai analis sepak bola.

Secara singkat, alangkah bijaknya jika kita membedakan dulu apa itu penonton dan apa itu supporter. Jika ‘penonton’ itu bersifat pasif, identik dengan layar kaca, nonton gratis, dan tidak mendatangkan pundi-pundi secara langsung untuk pemasukan klub dari sektor tiket, lain halnya dengan ‘supporter’ yang sifatnya aktif, rela merogoh kocek untuk masuk ke stadion, ikhlas meninggalkan keluarga di akhir pekan demi menyambangi klub pujaan, hingga mengorbankan nyawa atau identitas ketuhanannya lalu resmi menahbiskan sepak bola sebagai agama kedua dengan stadion menjadi tanah sucinya. The Jak yang akan membuat kedua definisi di atas terlihat lebih kontras.

Film keluaran 2007 ini terasa kental dengan fanatisme kedaerahan—yang memang kejadian di setiap kota di Indonesia jika kita membicarakan sepak bola—buktinya dokumenter ini dibuka lewat pernyataan keras seorang pemimpin cabang The Jakmania bernama Irlan yang intinya mengatakan “Jangan coba-coba bikin orang Jakarta marah, lo tau Suharto? Jatoh gara-gara orang Jakarta rusuh 27 Mei”, yang ditujukan untuk Viking (sebutan untuk supporter Persib). Ya, sudah bukan rahasia lagi jika Jakarta dan Bandung tidak saling asih bersama dalam urusan bola-bolaan. Sebuah fenomena yang juga sangat terbuka untuk menjalar ke perkara lain di luar urusan 11 lawan 11.

Selain The Jakmania dengan segala aksi dan reaksinya, film ini pula menampilkan Ferry Indrasjarief, Ketua Umum mereka saat itu. Menggantikan Gugun Gondrong, pria yang akrab dengan panggilan Bung Ferry ini dipercaya memimpin barisan The Jakmania pun Jak Angels (sebutan untuk supporter perempuan Persija) hingga tiga periode (1999-2005). Andibachtiar Yusuf sukses mengulik pandangan Bung Ferry tentang kehidupan sosio-ekonomi masyarakat Jakarta jika dikaitkan dengan sepak bola khususnya Persija. Beberapa perkataan menarik keluar dari mulut Bung Ferry yang very quoteable. Hingga terlontar salah satu yang cukup menggelitik, “Kenapa ‘anak-anak (The Jakmania)’ tidak punya rasa memiliki terhadap Jakarta? Ya, Jakarta emang kota hiburan, tapi bagi yang mampu. Bagi yang ga mampu ya ga punya hiburan. Nah, Persija-lah satu-satunya hiburan dan satu-satunya yang ‘orang-orang kalah (terpinggirkan)’ itu bisa banggain.”

Sutiyoso, Gubernur Jakarta sekaligus pembina Persija pun seperti mengamini pernyataan Bung Ferry di atas, “Yang luar biasa dari Jakmania adalah, mereka umumnya tidak memiliki apa-apa kecuali semangat. Mereka tak punya uang, tapi mereka pergi ke kota lain, dengan sangu pas-pasan, untuk memberikan dukungan kepada Persija,” ucap Bang Yos dalam salah satu footage film ini.

Andibachtiar Yusuf aka Ucup yang dalam karyanya kali ini bertandem dengan Amir Pohan sukses mengaduk emosi pemirsanya ketika Persija harus bertandang ke Tangerang untuk menghadapi Persikota dan menjadi tuan rumah saat berjumpa Persipura yang sayangnya harus berakhir dengan bentrokan antar supporter. Fragmen menarik yang setelahnya bakal menampakkan luka memar yang disertai ceceran darah segar.

The Jak merupakan bagian akhir dari trilogi This is a Good Day To Win. Betul, bagian pertama trilogi tersebut yang berjudul Jakarta is Mine memang sempat gagal lolos seleksi di Jakarta International Film Festival (JIFF) 2003, namun festival-festival di Eropa dan Amerika Latin ketagihan aja tuh menayangkan film ini. Bagian kedua yang bertitel Hardline boleh dibilang menjadi bagian yang memiliki capaian paling fenomenal. Festival Film Rotterdam sampai menyebut film ini sebagai ‘The most beautiful supporters’ song ever recorded in video’, terpilih sebagai film resmi dalam hajatan empat tahunan Piala Dunia Jerman 2006, mewakili Asia sebagai film sepak bola terpilih di Sao Paolo, Brasil dan diundang ke banyak festival di dunia. Oh satu lagi, salah satu Universitas di Helsinki, Finlandia bahkan menjadikannya sebagai kajian tata ruang kota.

Hmm…bagian akhir adalah kunci, maka dari itu mari simak film yang kembali menjadi oase di tengah Liga Indonesia yang kali ini tengah mati suri, The Jak!