01 Jul

Ikut Mengikuti Para Pengikut

Rizieq Shihab, Hasan bin Ja’far, (alm.) Munzir Al-Musawa, siapa lagi nama habaib yang namanya familiar di telinga Anda? Atau yang parasnya terlintas ketika Anda melewati persimpangan jalan yang dijejali spanduk undangan pengajian? Atau malah Anda lebih terkesan dengan kemacetan yang disebabkan jalan yang biasa Anda lalui ditutup demi hajatan beliau-beliau di atas? Bersiaplah jika tiba-tiba ada yang menguliahi Anda dengan pertanyaan bernada rada sarkas macam “mau macet di dunia apa di akhirat, mas?”.

Bukan soal siapa pentolan majelis pengajian mana yang bakal dibahas dalam film dokumenter berjudul The Followers ini. Tapi…pengikutnya, dan segala loyalitas mereka tentu yang akan Anda saksikan sebentar lagi. Chairun Nissa, sutradara film ini, coba memfilmkan anggota sebuah majelis pengajian di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan yang diklaim memiliki massa yang jumlahnya tidak kurang dari 10.000 orang, Majelis Rasulullah.

Sahut-menyahut Shalawat Nabi yang didengungkan dari dalam Masjid Al-Munawar melebur bersama bunyi klakson dalam padatnya jalan di sekitaran Pancoran. Orang-orang berkopiah putih lengkap dengan jaket bertuliskan “Majelis Rasulullah” dipastikan mendominasi jalanan tersebut di hampir setiap Malam Selasa. Jangan lupakan pula lapak-lapak kaget mingguan yang berjejer di sepanjang jalan menuju masjid.

Tumbuh di antara Budaya Arab dan konsumerisme, itulah frase yang ingin dilemparkan Chairun Nissa kepada penontonnya. Mungkin saja karena Budaya Arab yang melulu diidentikkan dengan Budaya Islam memang bertentangan dengan konsep gaya hidup tidak hemat tersebut. Semoga saja The Followers dapat pula menjadi penjelasan mana yang disebut Budaya Arab dan mana yang disebut Budaya Islam. Jadi kita-kita tidak begitu saja berkiblat pada Arab.

Film dokumenter tanpa narasumber ini juga memaparkan bagaimana loyalitas seseorang dimanfaatkan menjadi sebuah peluang bisnis oleh seseorang lainnya. Siklus yang memang biasa kejadian di skup lain dan tak hanya terjadi di lingkup sebuah majelis pengajian. Ya, menjadi tak biasa jika konsumerisme kembali dibenturkan dengan budaya yang (katanya) menentangnya.

Menarik memang menilik “perintilan” yang diperjualbelikan lapak-lapak mingguan tersebut. Mulai dari air mineral botol berlabel Habib Munzir—Pengasuh Majelis Rasulullah— hingga parfum KW bermerk Lady Gaga—yang beberapa tahun lalu digagalkan ke Indonesia—, menjadi penarik calon konsumen yang tidak sedikit jumlahnya. Mungkin Anda juga tertarik?

Majelis Rasulullah memang pula menjadi nama majelis pengajian—selain Nurul Musthofa—yang paling sering dikeluhkan khususnya oleh para pengguna jalan di Jakarta. Bagaimana tidak, saban pekan mereka—para pengguna jalan—dipaksa mengalah oleh konvoi ratusan kendaraan minim pembinaan, pedagang-pedagang dengan lapak yang digelar serampangan, hingga jalan-jalan yang terasa sah-sah saja jika ditutup sepihak. Film ini memberikan lebih banyak lagi gambaran bagi pemirsanya yang masih meraba-raba menyoal fenomena sebuah majelis pengajian dan segala perilaku para pemangku kepentingannya.

Jadi teringat salah satu penggalan lirik Jakarta Motorcity milik Sir Dandy Harrington, kurang lebih bunyinya begini “sudah banyak yang menjadi korban, disuruh pake helm malah pake sorban, tapi tak membuat mereka ketakutan…dst.”. Hmm…mungkin saja ya soal duniawi mereka milih Sir Dandy sebagai role model, merasa tersentil oleh panutannya yang satu ini, hingga akhirnya membentuk apa yang mereka namakan “Gerakan Anak Majelis Sadar Helm dan Tertib Lalu Lintas”. Untuk memaksimalkan gerakan tersebut, saya saran agar helm didesain sedemikian rupa hingga menyerupai kopiah dan diberikan cuma-cuma agar tak ada komentar sinis “Lho kok agama dimanfaatkan buat bisnis?”.